Selasa, 24 Mei 2011

Hukum Menyanyi dan Musik

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil,

generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-NabhaniNizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seniadalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain

Hukum Tentang Ikhtilath

Ikthtilath adalah percampuran antara laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki-laki. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.
Sebgelum membahas tentang ikhtilath, kita mesti memahami terlebih dahulu kaedah-kaedah interaksi
 
(ijtima’) antara laki-laki dengan wanita. Kaedah interaksi antara seorang laki-laki dengan wanita dapat diuraikan sebagai berikut:Pertama, jika suatu aktivitas memang mengharuskan adanya interaksi antara pria dan wanita, maka dalam hal semacam ini seorang laki-laki dan wanita diperbolehkan melakukan interaksi, namun hanya terbatas pada kepentingan itu saja. Sebagai contoh, adalah aktivitas jual beli. Di dalam aktivitas jual beli, mau tidak mau harus ada penjual dan pembeli. Harus ada pula kegiatan interaktif antara penjuual dan pembeli, misalnya bertanya tentang berapa harganya, barang apa yang hendak dibeli, boleh ditawar atau tidak, dan semua hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam keadaan semacam ini, maka seorang laki-laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita karena memang aktivitas tersebut mengharuskan adanya interaksi. Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi. Demikian juga dalam hal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, perburuhan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lain yang mengharuskan adanya interaksi; maka dalam keadaan semacam ini seorang laki-laki diperbolehkan berinteraksi dengan seorang wanita.

Hanya saja, tatkala seorang laki-laki berinteraksi dengan seorang wanita dalam aktivitas-aktivitas seperti di atas, ia harus membatasi dirinya pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas tersebut. Ia dilarang (haram) melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar konteks perbuatan tersebut. Misalnya, tatkala seorang laki-laki hendak membeli buku kepada seorang penjual wanita, maka ia hanya diperbolehkan berinteraksi pada hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas jual beli buku itu saja. Tidak dibenarkan ia bertanya atau melakukan interaksi di luar konteks jual beli buku. Misalnya, ia menyatakan, “Wah buku ini keren, seperti pembelinya.” Atau hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan jual beli. Namun jika seseorang telah usai melakukan jual beli, kemudian ia hendak bertanya arah jalan, misalnya, maka ia diperbolehkan bertanya hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan arah jalan itu saja, tidak boleh lebih.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah, meskipun seorang laki diperbolehkan berinteraksi dengan wanita dalam aktivitas-aktivitas semacam itu, akan tetapi ia tetap harus memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan infishal (pemisahan). Misalnya, tatkala seseorang hendak membeli barang dari seorang wanita, maka ia tetap harus memperhatikan jarak. Ia tidak diperbolehkan berdekatan, atau malah memepet perempuan tersebut, atau misalnya duduk berhimpitan bersama perempuan penjual itu perempuan tersebut, tatkala hendak membeli barangnya. Meskipun dari sisi interaksi —dalam jual beli— diperbolehkan, akan tetapi, ia tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai infishal (pemisahan). Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan. Meskipun wanita dan laki-laki diperbolehkan berinteraksi dalam aktivitas semacam ini –belajar mengajar—akan tetapi keterpisahan tetap harus diperhatikan —dengan ukuran jarak. Sebab, kewajiban infishal ini berlaku umum, lebih-lebih lagi dalam kehidupan umum. Oleh karena itu, tidak diperkenankan murid laki-laki dan wanita duduk bersama dalam sebuah bangku.
Kedua, jika suatu aktivitas sama sekali tidak mengharuskan adanya interaksi antara keduanya, maka seorang laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan melakukan interaksi atau pertamuan dalam aktivitas tersebut. Contohnya, adalah bertamasya, berjalan ke sekolah, kedai, atau masjid. Seorang laki-laki diharamkan berjalan bersama-sama dengan wanita bukan mahramnya dan melakukan interaksi selama perjalanan tersebut. Sebab, interaksi dalam hal-hal semacam ini tidak dibenarkan, dan bukan merupakan pengecualian yang dibolehkan oleh syara’.
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilath adalah campur baurnya laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya, ikhtilath itu dibenarkan dalam aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan oleh syara’. Terutama aktivitas yang di dalamnya mengharuskan adanya interaksi (aktivitas model pertama). Misalnya, bercampur baurnya laki-laki dan wanita dalam aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-Nabhanian-Nidzam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, hal. 40).
Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iySyaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, bahwa “Oleh karena itu, keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan Islam adalah fardlu. Keterpisahan laki-laki dan wanita dalam kehidupan khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali yang diperbolehkan oleh syara’. Sedangkan dalam kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal antara laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki tidak boleh berinteraksi (ijtima’) di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan, disunnahkan, atau diwajibkan oleh Syaari’ (Allah SWT), dan dalam suatu aktivitas yang memestikan adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah (infishal), misalnya, pertemuan di dalam masjid, ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath), misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual beli.” (ibid, hal. 40).
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ikhtilath (campur baur) berbeda dengan interaksi. Interaksi itu bisa berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath (bercampur baur). Kita juga bisa menyimpulkan bahwa bolehnya seseorang melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan berarti membolehkan dirinya melakukan ikhtilath. Sebab, ada interaksi-interaksi yang tetap harus dilakukan secara terpisah, misalnya di dalam masjid, dalam majelis ilmu dan dalam walimah, dan sebagainya. Adapula interaksi yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur-baur, misalnya jual beli, naik haji.
Pada interaksi-interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan caraikhtilath, maka seorang laki-laki diperbolehkan melakukan ikhtilath. Misalnya bercampur baurnya laki-laki dan wanita di pasar-pasar untuk melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki-laki dan wanita di Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur baurnya laki-laki tatkala berada di halte bus untuk menunggu bis, di tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Namun demikian, walaupun mereka boleh berikhtilath dalam keadaan ini, akan tetapi mereka tetap tidak boleh mengobrol, bercengkerama, atau melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur baur dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita yang ada di sampingnya, kecuali ada hajah yang syar’iy. Namun, jika masih bisa dihindari adanyaikhtilah, akan lebih utama jika seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, memilih tempat duduk yang diisi oleh laki-laki. Atau, negara bisa memberlakukan pemisahan tempat duduk laki-laki dan wanita di kendaraan umum.
Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak diperbolehkan. Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki-laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam bangku sekolah, dan lain sebagainya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.

Apakah Nabi Yusuf as. Terlibat Pemerintahan Kufur

Salah satu argumentasi yang sering dilontarkan beberapa kelompok untuk membenarkan berdakwah dengan cara bergabung dalam sistem yang jelas-jelas kufur adalah bahwa Sayidina Yusuf as. pernah terlibat dalam sistem kufur. Berikut ini pembahasan rinci tentang hal tersebut.
Bukti Kesalahan Beberapa Argumen Partisipasi dan Integrasi Politik
Argumentasi bahwa Sayidina Yusuf a.s. Terlibat dalam Pemerintahan Kufur

Al-Quran al-Karim menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s.:

????? ?????????? ????? ????????? ???????? ?????? ??????? ??????? ???? ?????????? ????????? ????????? ??? ???????? ??????????? ??????? ?????? ??????? ??????? ????????????? ??? ??????? ????? ??????? ?????? ?????????????? ???? 

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.(TQS. Yusuf [12]: 55-56)
Ayat ini sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. diperbolehkan berpartisipasi dalam sistem pemerintahan Raja Mesir yang tidak Islami itu. Berdasarkan hal ini, sebagian pihak mengklaim bahwa kaum Muslim saat ini pun berarti boleh melakukan hal yang sama. Mereka menggunakan ayat berikut sebagai dalil:
??? ????? ?????????? ??????? ??? ????? ????????? ?????? ??? ??????? ?????? ???? 


Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Ayat ini digunakan untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. telah memperdaya raja agar mengizinkan beliau untuk menghakimi saudaranya berdasarkan syariat Yakub a.s.–untuk memperbudak seorang pencuri–dan tidak menggunakan hukum raja. Oleh karena itu, diklaim bahwa pemahaman (konotasi) terbalik (mafhum mukhalafah) ayat tersebut secara implisit menyebutkan, bahwa selain dalam kasus dengan saudaranya, Yusuf a.s. menjalankan hukum raja.
Menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi Yusuf a.s. terlibat dalam pemerintahan yang non-Islami, dan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan selain syariat Allah Swt. adalah suatu penghinaan terhadap kemaksuman seorang nabi. Dengan demikian, argumen tersebut jelas keliru. Sebelum membahas kekeliruan argumen tersebut, pertama-tama kita perlu menunjukkan bukti bahwa Nabi Yusuf a.s. sebenarnya tidak pernah berpartisipasi dalam sistem kufur.
Mari kita cermati ayat pertama tadi, yang digunakan untuk mendiskreditkan Nabi Yusuf a.s.:

????? ?????????? ????? ????????? ???????? ?????? ??????? ??????? ???? ?????????? ????????? ????????? ??? ???????? ??????????? ??????? ?????? ??????? ??????? ????????????? ??? ??????? ????? ??????? ?????? ?????????????? ???? 

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang dikehendakinya di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.(TQS. Yusuf [12]: 55-56)
Hanya ada dua kemungkinan penjelasan yang benar tentang ayat ini. Pertama, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Nabi Yusuf a.s. hanya bertanggung jawab terhadap masalah mengumpulkan dan menyimpan hasil panen rakyat Mesir saat itu, termasuk bertanggung jawab mengamankan gudang penyimpanannya. Artinya, ini adalah jabatan administratif, bukan jabatan kekuasaan atau pemerintahan. Ibnu Katsir mengemukakan pendapat ini dalam tafsir beliau atas ayat ini. Syu’aibah bin Nu’ama juga memiliki pendapat yang sama. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Nabi Yusuf a.s.: “…bertanggung jawab atas gudang penyimpanan hasil panen, yang dikumpulkan untuk persiapan menghadapi musim paceklik yang diperkirakan akan datang. Ia ingin menjadi penjaga lumbung itu sehingga dapat mendistribusikan hasil panen itu dengan cara yang paling bijaksana, baik, dan menguntungkan.”[1]
Pendapat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. berhukum dengan hukum kufur atau malah terlibat dalam sistem pemerintahan. Nabi Yusuf a.s. sekadar berpartisipasi dalam posisi sebagai tenaga administratif, dan hal itu tidaklah haram, bahkan hingga sekarang. Jadi, aktivitas ini berbeda dengan aktivitas pemerintahan dan berpartisipasi dalam sistem kufur seperti yang terjadi saat ini, ketika seseorang diambil sumpahnya dan Islam harus tunduk pada pelaksaanan hukum parsial dan kehendak hawa nafsu manusia.
Kemungkinan pendapat yang kedua, bahwa Nabi Yusuf a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan wilayah, disimbolkan oleh kewenangan atas komoditas ekonomi paling penting di kawasan itu. Pendapat ini diajukan oleh Imam an-Nasafi yang mengatakan bahwa dalam masalah tersebut raja berada di bawah Yusuf a.s. dan tidak dapat mengeluarkan keputusan tanpa otorisasi Yusuf a.s. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan as-Suddi dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Yusuf a.s. diberi kewenangan, ‘untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya’.[2] Pendapat ini didukung oleh pandangan sebagian ulama bahwa raja tersebut sebetulnya masuk Islam; Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Mujahid juga berpendapat seperti ini.
Kembali, tidak ada analogi yang bisa diambil oleh mereka yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dalam sistem kufur. Imam an-Nasafi menyatakan bahwa ayat ini sekadar menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan meminta seorang penguasa tiran untuk memberikan kewenangan kepada seseorang yang dianggap adil. Hal ini berarti tidak ada peluang munculnya penerapan aturan secara parsial karena kewenangan diberikan secara penuh.
Adalah mustahil dan tidak masuk akal apabila ayat ini dapat diartikan bahwa berpartisipasi dalam suatu sistem kufur, atau bahwa implementasi Islam secara parsial, diperbolehkan. Menginterpretasikan ayat tersebut dengan cara seperti itu akan membuatnya bertentangan dengan banyak ayat lain yang bersifat qath’iy yang nyata-nyata melarang hal itu. Para ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan hal itu dianggap sebagai kafir, fasik, atau dzalim[3]. Tentu saja mustahil kita mengasosiasikan sifat-sifat tersebut terhadap Nabi Yusuf a.s. karena beliau adalah seorang yang maksum.
Interpretasi bahwa Nabi Yusuf as berpartisipasi dalam sistem kufur dan berhukum dengan hukum raja bertentangan dengan pernyataan Nabi Yusuf a.s. sendiri yang dikatakannya kepada dua sahabatnya di penjara sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran:
???? ????????? ?????? ?????? ?????? ?????? ??????????? ?????? ???????? ?????? ???????? ?????????? ?????????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (TQS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini jelas terbukti bahwa Yusuf a.s. meyakini bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan syariat Allah Swt. berarti orang tersebut telah membuat agama versinya sendiri. Ini dilukiskan oleh perkataan beliau: “itulah agama yang lurus”. Jelas, menurut Yusuf a.s., berhukum berdasarkan syariat Allah Swt. adalah masalah akidah (keyakinan), tauhid (keyakinan terhadap keesaan Allah), dan memenuhi ketentuan Allah Swt. Beginilah tafsiran Ibnu Katsir terhadap ucapan Yusuf a.s., yang menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mengikuti agama yang lurus adalah orang yang musyrik. Ibnu Katsir menafsirkan kalimat “Itulah agama yang lurus” berarti tauhidullah, serta mengarahkan setiap perbuatan sebagai bentuk penyembahan terhadap-Nya saja … adalah agama yang benar dan lurus. Yaitu, agama yang telah Allah tetapkan, dan yang untuk itu telah Dia turunkan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata. ‘…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu’ adalah alasan yang menyebabkan kebanyakan dari manusia menjadi musyrik”[4].
Ketika menceritakan bahwa Yusuf a.s. tidak menghukumi saudaranya dengan hukum raja, al-Quran menggunakan kata ‘diin’ dengan mengacu pada hukum sang raja. Dengan kata lain, raja itu memiliki diin, dan Yusuf a.s. memiliki diin lain yang berbeda.
??? ????? ?????????? ??????? ??? ????? ????????? ?????? ??? ??????? ?????? ???? 

Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. (TQS. Yusuf [12]: 76)
Jadi, wahai saudaraku kaum Muslim, bagaimana mungkin Nabi Yusuf a.s. berkata kepada sahabatnya di penjara bahwa berhukum dengan syariat Allah Swt. adalah diin yang lurus, sementara itu dalam kesempatan lain beliau justru mengadopsi diin sang raja? Kita berlindung kepada Allah Swt. dari fitnah semacam ini.
Imam Nasafi, Ibnu Katsir, dan Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya dengan syariat Yakub a.s. Ayat ini digunakan oleh sebagian orang untuk mengklaim bahwa mafhum mukhalafah ayat tersebut menunjukkan secara implisit bahwa ketika berurusan dengan orang lain Yusuf a.s. menggunakan hukum sang raja. Mafhum mukhalafah bisa dianggap sah berdasarkan bilangan (‘adad) dan deskripsi sifat yang bisa dipahami (wasfu al-mufhim), selama tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada. Dalam kasus ini, mafhum mukhalafah tersebut berarti batal. Mafhum semacam ini dikenal dengan istilah mafhum al-laqab, yaitu pengertian (konotasi) terbalik yang diambil dari suatu kata benda atau suatu nama, misalnya saudara Nabi Yusuf a.s. Akan tetapi, seperti yang nanti ditunjukkan, penggunaan mafhum yang lemah semacam ini dan dalam kasus ini–yang diterima oleh Abu Bakr ad-Daqaq dan Ibnu Faruq–tidaklah absah.
Kita bisa menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan kesalahan logika tersebut. Jika pernyataan “Aku melihat Zaid” dipahami dengan menggunakan mafhum al-laqab, maka maknanya adalah “Aku tidak melihat orang lain selain Zaid”. Dalam contoh ini, firman Allah Swt. bahwa Yusuf a.s. menghukumi saudaranya berdasarkan syariat Yakub, diartikan bahwa dalam kesempatan lain beliau menggunakan hukum selain hukum sang raja. Sungguh ini adalah salah satu jenis mafhum mukhalafah yang paling lemah. Bahkan, Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa orang-orang yang menggunakan logika semacam ini tidak memiliki landasan, baik itu secara linguistik, hukum, maupun rasional. Imam asy-Syaukani lantas melanjutkan dengan mengatakan, “Diketahui dari lidah orang Arab bahwa siapa pun yang berkata “Aku melihat Zaid”, tidak akan diartikan bahwa ia tidak melihat orang lain selain Zaid, tapi jika ada indikasi di dalam nash bahwa memang itulah makna yang dikehendaki maka bukti atau dalil atas hal itu ditunjukkan oleh indikasi tersebut”[5].
Seandainya mafhum itu dianggap sah, tetap saja tidak dapat digunakan dalam contoh kita tadi. Hal itu karena para pengusung mafhum al-laqab sendiri menetapkan bahwa mafhumtersebut tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan kondisi-kondisi lain, misalnya dengan nash-nash yang eksplisit (qath’iy). Oleh karena itu, penggunaan mafhum tersebut dalam menafsirkan ayat itu akan bertentangan dengan banyak ayat al-Quran yang secaraqath’iy jelas-jelas melarang berhukum dengan hukum kufur, termasuk ucapan Nabi Yusuf a.s. sendiri mengenai keharusan berhukum dengan syariat Allah Swt.[6] Pengertian seperti itu akan menimbulkan fitnah dan penghinaan terhadap salah seorang Nabi Allah yang mulia. Bahkan, ad-Daqaq dan Ibnu Faruq akan menolak penggunaan mafhum al-laqab di dalam menafsirkan ayat ini, karena dapat mengakibatkan makna yang absurd. Jadi, dalam hal ini kita harus menolaknya mentah-mentah.
Akar Kesalahan: Syariat Sebelum Kita

Penjelasan di atas semata-mata untuk melindungi Nabi Yusuf a.s. dari fitnah. Adapun yang kesalahan sebenarnya dari argumen itu adalah bahwa mereka mengatakan beliau a.s. berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, dan konsekuensinya, kita pun boleh berpartisipasi dalam sistem yang tidak Islami, yang kini ada di hadapan kita. Klaim ini dibangun di atas anggapan bahwa syariat Yusuf a.s. sah untuk kita ikuti. Ini adalah prinsip yang lemah. Jadi, seandainya saja Nabi Yusuf a.s. berpartisipasi dalam pemerintahan berdasarkan syariat sang raja (sesuatu yang tidak masuk akal), hal ini tetap tidak menjadi sesuatu yang bisa diikuti oleh kaum Muslim. Hal ini karena kaum Muslim terikat dengan syariat yang datang melalui nabi terakhir, Muhammad saw.
Memang ada sebagian ulama yang menerima prinsip ini. Namun, tetap saja para ulama itu menetapkan syarat pemberlakuannya, yaitu syariat sebelum kita adalah juga syariat bagi kita selama tidak bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw[7]. Inilah pandangan yang ada terhadap masalah ini; tidak ada alim ulama mana pun yang memiliki pandangan selain dua pandangan tersebut. Tentu saja konyol bila kita katakan bahwa aturan nabi sebelum Muhammad saw. dapat mengalahkan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Hal yang sama juga berlaku bagi prinsip lain yang juga lemah, meskipun absah, yang mereka coba gunakan untuk menjustifikasi perbuatan mereka, yaitu prinsip maqasid asy-syariah(tujuan-tujuan syariat), substansi dalil, mashalih al-mursalah (kemaslahatan umum), atau memilih yang lebih sedikit madharatnya (ahwan adh-dharain). Tidak ada satu pun dari prinsip-prinsip tersebut yang bisa digunakan karena akan bertentangan dengan nash-nash syara’. Imam al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu Hajib meriwayatkan suatu Ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa tidak ada dalil umum yang dapat digunakan untuk masalah khusus tanpa pertama-tama melihat dalil yang juga khusus. Oleh karena itu, sebelum merujuk pada sumber hukum sekunder, seperti prinsip yang absah tapi lemah ‘syariat sebelum kita’ itu, pertama-tama kita harus merujuk pada dalil khusus dari Rasulullah saw.
Dalam kasus yang sekarang kita hadapi, pendapat mana pun yang diadopsi, kuat atau lemah, tidak ada analogi lain yang bisa ditarik dari dua fakta itu: perbuatan Yusuf a.s. dan berpartisipasi dalam pemerintahan sistem kufur sekarang ini. Perbuatan semacam itu akan bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw., dalam banyak ayat al-Quran, misalnya ayat berikut:
?????? ?????? ????????? ????? ??????? ?????? ????? ????????? ???????????? ????????????? ??? ??????????? ??? ?????? ??? ??????? ?????? ???????? ????

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maa-idah [5]: 49)
Sebagai kesimpulan atas kisah Nabi Yusuf a.s., itu bukanlah pendapat yang masuk akal, baik itu dilihat dari pernyatakan bahwa beliau a.s. berpartisipasi di dalam sistem sebagai administrator dan bukan sebagai penguasa; atau bahwa beliau a.s. bertanggung jawab atas keseluruhan sistem; atau bahwa syariat yang beliau bawa tidak lagi sah pada saat ini; atau bahwa syariat itu sah kecuali apabila bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Sungguh, tidak ada satu pun dari pendapat-pendapat itu yang bisa digunakan untuk membenarkan keikutsertaan dalam sistem kufur yang saat ini berlaku di mana-mana. Perbuatan tersebut adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap aturan Allah Swt., karena hal itu berarti membiarkan pelakunya berhukum dengan hukum-hukum kufur. Jika diyakini, hal itu membuat sang pelaku kafir, dan jika tidak diyakini, minimal membuat dirinya dzalim atau fasik.
(Sumber: The Fiqh of Minorites – the New Fiqh to Subvert Islam; Asif K. Khanaktivitis Hizbut Tahrir Inggris)

Ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama

Ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama, mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Termasuk dalam hal ini berobat dengan obat yang mengandung alkohol (etanol), sebab alkohol adalah haram dan najis. Ada yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti

Yusuf Al-Qaradhawi. Ada pula yang memakruhkannya, seperti Taqiyuddin An-Nabhani. Pendapat yangrajih (kuat) menurut pengasuh, adalah yang memakruhkannya.

Terdapat dua kelompok hadits yang nampak bertentangan (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan benda yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi).

Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta (HR Muslim) (Lihat Imam Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis.

Dalam hadits lain dari Anas RA, Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi,Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadits ini membolehkan berobat dengan benda yang haram (dimanfaatkan), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.

Di sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) kedua kelompok hadits di atas. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan. Sedangkan dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Jadi, berobat dengan obat yang mengandung alkohol adalah makruh, tidak haram. Wallahu a’lam

Nabi Isa dalam Al-Quran dan Bible

Kisah atau sejarah kehidupan Nabi Isa AS hingga kini masih kontroversial. Tidak hanya di kalangan umat Nasrani dan Umat Islam, tetapi juga di antara kaum muslimin sendiri. Hal ini disebabkan perbedaan temuan data maupun cara penafsiran terhadap sebuah teks, termasuk teks Al-Quran. Misalnya saja, masalah apakah Nabi Isa wafat secara wajar atau diangkat ke langit oleh Allah, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Sekedar contoh, apa yang tertulis dalam kitab tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi,
 
tentang ayat 158 surat An-Nisa yang berbunyi : “… tetapi (yang sebenarnya) Allah mengangkat Nabi Isa kepada-Nya. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.
Ibnu Jarir, yang mengutip pendapat Ibnu Juraih, berpendapat, kata mengangkat pada ayat tersebut bukan berarti Allahmengan gkat roh atau jasad Nabi Isa ke langit, tetapi berarti mewafatkan dan menjaga kesucian Nabi Isa dari orang-orang kafir yang berusaha menzaliminya. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat, Nabi Isa diangkat ke langit dalam bentuk rohnya saja. Tetapi jumhur atau mayoritas ulama berpendapat, Nabi Isa diangkat oleh Allah dalam bentuk jasad dan rohnya.


Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits berkenaan dengan Mi’rajnya Rasulullah saw, yang menyebutkan, Rasulullah melihat Nabi Isa dan Nabi Yahya di langit kedua (lihat kitab tafsir al-Maraghi jilid 2 juz ke-5 halaman 14).

Pendapat lain dikemukakan oleh Irene Handono, konsultan kristologi Masjid Agung Al-Azhar Jakarta. Menurutnya, yang dimaksud mengangkat adalah mengangkat derajatnya. Jadi, Nabi Isa tetap diwafatkan oleh Allah, seperti manusia lainnya.

Irene Handono tadinya seorang Nasrani yang taat. Setelah mendalami ajaran-ajaran Islam, dengan hidayat Allah ia memeluk Islam. Sumber datanya tidak hanya dari satu pihak. Ia mencoba menguak misteri wafat, kebangkitan, kenaikan (diangkat Allah ke langit), serta turunya Nabi Isa ke bumi pada akhir zaman nanti, dengan bersumberkan Al-Quran dan Bible. Berikut wawancara Alkisah dengan Irene :

Pertanyaan : Bisa Anda jelaskan sejarah Nabi Isa AS dalam Al-Quran dan Bible ?
Sebelum membahas masalah tersebut, ada beberapa hal yang penting untuk dijelaskan, karena hal ini sangat berkaitan erat dengan konsep ketuhanan Yesus Kristus. Yaitu soal penyaliban Nabi Isa AS.

Doktrin Kristen menegaskan, Isa Al-Masih yang oleh kalangan Kristen disebut Yesus, meninggal di kayu salib. Konsep penyaliban ini menjadi tonggak akidah umat Kristen tentang kenaikan dan kebangkita Yesus, yang pada ujungnya mengarah pada pengakuan ketuhanan Yesus.

Nabi Isa, dalam sejarahnya, memang mendapat hukuman salib dari penguasa Romawi saat itu karena beliau dianggap menghujat Allah dengan mengatakan bahwa ia adalah anak Allah. Tetapi, ketika diajukan ke wali negeri, Isa Al-Masih dituduh makar karena mengaku sebagai raja Yahudi. Maka beliaupun mendapat hukuman salib.

Dalam Injil dijelaskan, “Hari itu ialah persiapan Paskah, kira-kira jam 12″. (Yohannes 19:14). Istilah Paskah berasal dari bahasa Ibrani, dari kata pesah, artinya “melewati”. Upacara ini, seperti dijelaskan dalam kitab Perjanjian Lama, sebenarnya dilaksanakan sebagai peringatan pembebasan bangsa Israel dari bangsa Mesir, yang ketika itu anak-anak sulung orang Israel dibunuh, tetapi pintu-pintu rumah orang Ibrani dilewati, karena ambang atas dan kedua tiang pintu rumah mereka ditoreh dengan darah anak kambing domba.

Sedang, dalam kitab Perjanjian Baru, Yesuslah yang disebut-sebut sebagai anak domba bukit Paskah. Dengan demikian, menurut keyakinan Kristen, Isa Al-Masih memang harus disalib untuk menebus dosa umatnya sebagai akibat dosa yang diwariskan Adam dan Hawa. Dengan penyaliban itu, manusia terbebas dari siksaan akibat dosa tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, gereja menyatakan bahwa Paskah adalah Hari Kebangkitan Yesus. Dalam persiapan Paskah, kira-kira jam 12 siang, Kaisar Romawi Pontius Pilatus memutuskan untuk menyerahkan Isa Al-Masih kepada orang-orang Yahudi untuk disalib di Bukit Golgota (Bukit Tengkorak). Maka Isa Al-Masih dipaksa manggul salib ke Bukit Golgota.

Setelah sampai di Bukit Golgota kira-kira jam tiga sore, berserulah Isa Al-Masih, “Elli, Elli lamma sabakhtani?!”,  yang artinya “Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan aku?!” Hari itu adalah hari persiapan Paskah, dan besoknya adalah hari Sabat (Sabtu). Bagi umat Yahudi, hari Sabat adalah hari ketujuh, hari yang suci. Tuhan berhenti bekerja pada hari tersebut, sehingga orang Yahudi dilarang bekerja, termasuk melakukan penyaliban. Orang yang bekerja pada hari itu dihukum mati.

Pada saat itu, waktu yang tersisa untuk menyelesaikan pekerjaan penyaliban, sebelum memasuki hari Sabat, tinggal 2,5 jam, karena pergantian waktu menurut tradisi Yahudi adalah terbenamnya matahari, jam 6 sore, bukan jam 12 malam atau jam 00.00.

Terdesak oleh waktu, dan untuk mempercepat proses kematian Isa Al-Masih dan pengikutnya, orang-orang Yahudi minta para serdadu Romawi mematahkan kaki mereka. Tepat giliran Isa Al-Masih, para serdadu Romawi ternyata tidak mematahkan kakinya, sebab mereka menyangka Isa Al-Masih telah mati. “Tetapi, ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa ia telah mati, mereka tidak mematahkan kakinya.”(Yohanes 19:33).

“Pilatus heran saat mendengar bahwa Yesus sudah mati. Maka ia memanggil serdadu dan menanyakan kepadanya apakah benar Yesus sudah mati.”(Markus 15:44).

Berdasarkan catatan sejarah dan tinjauan ilmu pengetahuan, umumnya orang yang disalib baru mengalami kematiannya minimal dua hari. Dari situ bisa diambil kesimpulan, waktu satu hari (saat itu hari Jumat) belum cukup untuk membuat Isa Al-Masih meninggal di kayu salib. Tapi, mereka mengira Yesus sudah mati.

Penelaahan saya terhadap ayat-ayat Bible tersebut membuktikan, saat itu Isa Al-Masih belum meninggal. Ia hanya pingsan. Dan, kondisi pingsan itulah yang dilihat para serdadu sebagai kondisi mati. Pada kejadian tersebut para serdadu hanya melihat, bukan memeriksa bahwa Yesus telah mati. Lolosnya Nabi Isa dari pematahan kaki merupakan pertolongan Allah atas hambaNya.

Kronologi peristiwa yang diungkapkan oleh Bible justru menunjukkan, saat itu Isa Al-Masih belum meninggal. Namun, kebenaran ini justru ditolak oleh umat Kristen demi konsep ketuhanan Yesus yang dirumuskan dalam Konsili Nicea pada 325 Masehi. Konsep ketuhanan itu mengharuskan adanya “proses evolusi ketuhanan Yesus” sebagai berikut : penyaliban, mati, bangkit atau hidup kembali, duduk di surga di sebelah kanan Allah dan menjadi Tuhan.

Pertanyaan : Anda juga menemukan penjelasan dalam Al-Quran tentang penyaliban Nabi Isa ?

Al-Quran secara gamblang menjelaskan, Nabi Isa memang disalib, tapi beliau tidak mati. “Dan lantaran perkataan mereka yang mengatakan, ‘Sesungguhnya kami telah membunuh Isa putra Maryam rasul Allah itu’. Padahal, sebenarnya mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya (hingga mati), melainkan hanyalah diserupakan saja pada mereka…”(Quran Surat An-Nisa :157).

Pertanyaan : Ada pendapat, Isa Al-Masih tidak mati di kayu salib, tetapi yang disalib sampai mati adalah Yudas Iskariot alias Yahuda Ashkhariyuti. Benarkah pendapat ini ?

Pendapat seperti itu sulit dipertanggungjawabkan, sebab Al-Quran sama sekali tidak pernah menyebut atau mengisahkan nama tersebut. Jadi, Isa Al-Masih tidak meninggal di kayu salib. eliau hanya pernah mengalami bahaya penyaliban, namun akhirnya diselamatkan oleh Allah dengan cara diserupakan kondisinya sebagai orang mati dengan cara pingsan.
Jadi Isa Al-Masih tidak meninggal di salib, melainkan selamat dan tetap hidup bahkan sampai usia lanjut. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Quran surat Ali Imran ayat 46. “Dia dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan ketika sudah dewasa”.

Kata dewasa, menurut Kamus Bahasa Arab Al-Munjid fil Lughati wal A’lami, artinya seorang yang berusia antara 30 sampai 50 tahun.

Imam Raghih, dalam buku Bible dalam Timbangan, mengartikannya orang yang rambutnya bercampur dengan yang putih karena usianya yang lanjut.

Pertanyaan : Dimanakah Isa Al-Masih menjalani kehidupan sampai usia lanjut dan dimakamkan ?

“Dan telah kami jadikan Isa putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi kekuasaan Kami, dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Quran Surat Al-Mukminun 23:50).

Dimanakah tempat yang dimaksud oleh ayat ini ? Para ahli tafsir merujuk dataran tinggi di sebuah bukit sebelah barat Laut Mati, Palestina, yaitu biara tempat kediaman sekte Esenes. Tempat ini dikenal dengan Bukit Qumran. Jadi beliau hidup dan dimakamkan disana.

Pertanyaan : Mengapa data-data penting itu tidak banyak diungkap ?

Karena ada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dengan soal ini. Hal ini, misalnya, dapat kita cermati dari fenomena naskah yang terkenal, yaitu Dead Sea Scrolls atau Gulungan Laut Mati, di Gua Qumran, sekitar 10 mil sebelah timur Jerusalem, yang meyimpan sekitar 800 dokumen yang ditulis sekitar tahun 200 sebelum Masehi sampai 50 Masehi dalam bahasa Ibrani, Yunani dan Aram (bahasa sehari-hari yang dipakai Nabi Isa). Di antaranya terdapat 127 dokumen ayat-ayat Bible, juga kitab suci Apokriba (kita yang tidak boleh dibaca umat Kristen). Sejak penemuannya pada tahun 1947 oleh seorang gembala domba Badui, sampai empat dekade berikutnya, banyak rahasia yang disembunyikan oleh kelompok kecil sarjana yang menguasai dokumen tersebut. Namun penyembunyian itu berakhir September 1991, ketika sebuah lembaga penelitian di California, yang menyimpan empat set fotografi koleksi Dead Sea Scrolls, mulai mengizinkan para sarjana yang berkepentingan untuk menelitinya.

Frank M. Cross, editor naskah Dead Sea Scrolls dan seorang pakar bahasa Ibrani dan Barat di Harvard University memperingatkan bahwa naskah gulungan itu akan membongkar misteri yang aneh di sekitar Al-Kitab, seperti Kitab Tobit, Sirakh dan Yobel, yang apokrifa atau diragukan keasliannya bagi pemeluk Katolik dan Protestan.

Pertanyaan : Lalu, bagaimana dengan kebangkitan Isa Al-Masih ? Kalau dianggap mati, tentu beliau dikubur ?
Kebangkitan Isa Al-Masih termasuk doktrin utama umat Kristen. Paulus mengatakan, “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah kepercayaan kami, dan kamu masih hidup dalam dosamu.”(I Korintus 15:17). Doktrin kebangkitan menegaskan bahwa, tiga hari setelah kematiannya di kayu salib, Yesus dibangkitkan oleh Tuhan (Yesus meninggal hari Jumat, bangkit hari Ahad).

Sebenarnya, kita tidak perlu secara panjang lebar membuktikan benar-tidaknya kebangkita Isa Al-Masih. Sebab, seperti telah dikatakan tadi, Isa Al-Masih tidak meninggal saat disalib. Beliau diselamatkan oleh Allah lewat murid-muridnya. Disembuhkan dan dikeluarkan dari kuburnya.

Pertanyaan : Jika Nabi Isa telah dikubur, bagaimana bisa dikatakan beliau masih hidup ?

Dalam keadaan pingsan, serdadu Romawi menganggap Nabi Isa telah meninggal. Maka beliau diturunkan dari kayu salib kemudian dikubur. Tentunya kuburan orang Yahudi tidak seperti kuburan kaum muslimin. Mayat tidak ditanam ke dalam tanah, melainkan diletakkan di atas batu di dalam liang lahad, terletak di gua ataupun yang sengaja dibangun berbentuk semacam tempurung dan berpintu.

Kondisi kubur seperti ini memberi dua kemungkinan. Pertama, orang yang dimasukkan ke dalam ruang kubur masih tetap hidup, karena masih ada ruang untuk bergerak dan bernafas. Kedua, memungkinkan orang lain memasukinya, seperti yang dilakukan para murid Nabi Isa AS, sehingga terbuka lebar-lebar kesempatan memberi pengobatan sekaligus makanan, sampai luka-luka Nabi Isa sembuh.

Nah, hilangnya Isa Al-Masih dari kubur itulah yang diyakini oleh pemeluk Kristen sebagai Kebangkitan Yesus (dari kubur). Namun, untuk lebih meyakinkan kebangkitan itu sendiri perlu telaah kritis. Apalagi, masalah tersebut di kalangan sarjana-sarjana Kristen sendiri menimbulkan pro dan kontra. Dalam sebuah simposium yang digelar oleh Oregon State University, Amerika Serikat, Februari 1996, seperti dilaporkan majalah News Week edisi 8 April 1996, doktrin kebangkitan itu mendapat gugatan-gugatan kritis.

Umat Kristen sendiri terbagi menjadi dua kelompok dalam memahami kebangkitan. Pertama, memahami bahwa kebangkitan dari kubur berarti Isa Al-Masih meninggal kemudian bangkit. Sedangkan yang kedua memahami bahwa yang dimaksud kebangkitan adalah bangkit dari penyaliban, yang berarti Isa Al-Masih belum meninggal saat disalib.

Pertanyaan : Kalau Nabi Isa AS tidak meninggal dan beliau hidup sampai usia lanjut, berarti beliau tidak diangkat Allah ke langit. Padahal jumhur ulama berpendapat, beliau tidak mati melainkan diangkat Allah ke langit.

Al-Quran secara gamblang menjelaskan, “Ingatlah, tatkala Allah berfirman, “Wahai Isa, sesungguhnya aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau kepadaKu dan membersihkan engkau dari orang-orang kafir, dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau lebih tinggi dari orang-orang kafir sampai hari kiamat. Maka kepada Akulah tempat kembali, maka akan Aku putuskan nanti di antara kamu dari hal yang telah kamu perselisihkan padanya itu”.(Quran Surat Ali Imran 3:55).

Pertama, Isa Al-Masih telah diwafatkan oleh Allah. Seperti manusia lain, beliau pun akan terkena sunnatullah kematian. “Setiap nafs (yang berjiwa) akan menghadapi kematian.”(Quran Surat Ali Imran 3:185).

Kedua, Isa Al-Masih akan diangkat Allah bukan dalam arti diangkat secara fisik, melainkan derajatnya. Penggunaan kata rafa’a seperti yang kita temui dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11, “Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”. Makna pengangkatan yang sama juga diberikan kepada Nabi Idris (dalam Quran Surat Maryam ayat 57).

Ketiga, ada hadis-hadis Nabi saw yang melukiskan akan tibanya suatu periode ketika Isa akan mengoreksi keislaman bani Israil yang menyeleweng dari syariat Nabi Musa. Menyebut Isa Al-Masih berada di langit atau masih hidup hingga kini, tidak bisa dijadikan pedoman yang kukuh. Kesimpulan tersebut diambil dari beberapa fakta di bawah ini.

Pertama, hadis-hadis tersebut termasuk hadis ahad, sehingga tidak bisa dijadikan pedoman dalam soal akidah.

Kedua, walaupun menurut Imam Bukhari sanadnya shahih, karena matannya mungkin bersinggung balik dengan Al-Quran yang dengan tegas mengatakan bahwa Isa Al-Masih wafat, untuk menghindari kesalahpahaman seperti yang terjadi pada jemaah Ahmadiyah Qodian, hadis tersebut lebih baik ditinggalkan saja.

Ketiga, hadis-hadis tersebut bermuara pada dua orang saja, yang keduanya bekas penganut Kristen, yaitu Ka’ab Al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih, yang masih punya keterkaitan pada kepercayaan lamanya.
Jadi dari logika saja, bagaimana Isa Al-Masih hidup di langit ? Apakah Tuhan ada di langit ? Langit itu, bagaimanapun luasnya, berarti masih dalam lingkungan ruang dan waktu, sedangkan Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu. Bagaimana Isa Al-Masih dengan tubuh jasmaninya hidup di langit yang udaranya di luar kesanggupan paru-paru insani? Atau apakah Isa Al-Masih disana dalam keadaan rohani saja ? Kalau demikian, kondisi tersebut sama dengan kondisi manusia lainnya yang telah mati. Mereka hidup dalam alam rohani di luar ukuran dunia fana ini, sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi.

Boleh jadi juga orang-orang Kristen dan mungkin sebagian orang Islam ada yang berpendapat bahwa Isa Al-Masih duduk di kanan Allah itu menyandarkan pandangannya pada ayat Al-Quran yang artinya, “Dan Isa salah seorang yang dekat pada Allah (minal muqarrabin).”
Kata dekat di sini bukan berarti dekat dalam ukuran ruang dan waktu, tetapi dekat dalam arti rohani. Maksudnya beliau sangat mulia di sisi Allah karena iman dan takwanya pada Allah. Dan kita jangan sampai keliru menganggap Isa Al-Masih satu-satunya yang dekat dengan Allah, karena ayat ini menunjukkan bahwa beliau hanyalah salah seorang diantara orang-orang yang dekat dengan Allah. Jadi, kaum muqarrabin itu jumlahnya banyak sekali. Dan yang sudah tergolong muqarrabin
ialah para nabi dan wali, orang-orang shaleh dan bertakwa kepada Allah.

Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa Isa Al-Masih masih hidup di surga justru digunakan oleh kalangan Kristen untuk menyatakan orang Islam pun mengakui bahwa Yesus hidup di surga bersama Tuhan. Maka, logika mereka, siapa yang bisa berdampingan dengan Tuhan kalau bukan Tuhan ?

Jadi, pemahaman itu merasuk ke dalam hati umat Islam. Maka dua doktrin umat Kristen, yaitu kebangkitan, kenaikan dan ketuhanan Yesus, dengan mudah juga diterima umat Islam.

Pertanyaan : Bagaimana pendapat Anda bahwa Nabi Isa akan kembali ke dunia ?
Kepercayaan bahwa Isa Al-Masih akan kembali ke dunia untuk menjadi hakim atas kesalahan umatnya, adalah kepercayaan Nasrani yang tertuang dalam Bible, mengacu kembali akan ketidakbenaran konsep kenaikan Isa Al-Masih yang juga tertolak. “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan mengatakan, yaitu, ‘Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Dan aku menjadi saksi bagi mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka, tetapi setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka dan Engkau pulalah yang menyaksikan segalanya.”(Quran Surat Al-Maidah ayat 117).

Jadi, isi pernyataan Nabi Isa AS dalam ayat Al-Quran tersebut, Pertama, beliau sanggup bersaksi hanya sepanjang yang beliau ketahui, selama beliau hidup diantara mereka, yaitu Bani Israil. Kedua, beliau diwafatkan Allah. Ketiga, Allah-lah Penguasa hari akhir zaman, satu-satunya Hakim, sesuai dengan firman Allah dalam Surat At-Tin ayat 8,
“Bukankah Allah itu Hakim seadil-adilnya?”

Pendapat sebagian kalangan umat Islam bahwa Nabi Isa AS yang berada di langit akan turun ke dunia untuk menjadi hakim di akhir zaman justru dimanfaatkan kalangan Kristen sebagai bahan argumentasi bagi penyimpulan mereka, “Siapa yang layak jadi hakim kalau bukan Tuhan?”. Kalau umat Islam mengakui Isa Al-Masih sebagai hakim di akhir zaman, berarti umat Islam meyakini Isa Al-Masih sebagai Tuhan di akhir zaman.

Jadi, menurut saya, umat Islam tidak perlu lagi ragu-ragu, apalagi meyakini doktrin kebangkitan dan kenaikan Isa Al- Masih. Sebab, sudah jelas, doktrin tersebut bertentangan dengan Islam dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Sumber : Dikutip penuh dari Majalah Alkisah No. 26/19 Desember 2005

POLIGAMI WAHYU ILAHI YANG DITOLAK??

Wahyu adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh hamba dan sudah semestinya mereka tunduk untuk mengikutinya. Kebutuhan mereka terhadapnya melebihi kebutuhan mereka terhadap apa pun. Wahyu adalah ruh, cahaya, dan penopang kehidupan alam semesta. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah).
Apa yang terjadi jika wahyu ilahi yang sebagai penerang ini ditolak ? Wahyu adalah RuhAllah Ta’ala menyebut wahyu-Nya dengan ruh. Apabila ruh tersebut hilang, maka kehidupan juga akan hilang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan
 
perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu nur (cahaya), yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuro: 52). Dalam ayat ini disebutkan kata ’ruh dan nur’. Di mana ruh adalah kehidupan dan nur adalah cahaya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Kebahagiaan Hanya Akan Diraih dengan Mengikuti Wahyu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Kebutuhan hamba terhadap risalah (wahyu) lebih besar daripada banyaknya kebutuhan pasien kepada dokternya.

Apabila suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengan dokter tersebut ditangguhkan, tentu seorang pasien bisa kehilangan jiwanya. Adapun jika seorang hamba tidak memperoleh cahaya dan pelita wahyu, maka hatinya pasti akan mati dan kehidupannya tidak akan kembali selamanya. Atau dia akan mendapatkan penderitaan yang penuh dengan kesengsaraan dan tidak merasakan kebahagiaan selamanya. Maka tidak ada keberuntungan kecuali dengan mengikuti Rasul (wahyu yang beliau bawa dari Al Qur’an dan As Sunnah, pen).
Allah hanya mengkhususkan orang yang mengikuti Rasul -dari orang mu’min dan orang yang menolongnya- yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al A’raf: 157) (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Allah Maha Mengetahui Apa yang Terbaik Bagi HambanyaAllah yang telah menciptakan manusia, maka Dia-lah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi manusia, dibanding manusia itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?.” (Al Mulk: 14).
Demikianlah seluruh syari’at yang terdapat pada wahyu yang Allah turunkan melalui perantara Rasulullah -baik yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam-, semuanya mengandung maslahat (kebaikan) baik maslahat tersebut murni, atau maslahat tersebut lebih besar dari keburukan yang ditimbulkan.
Termasuk dalam hal ini adalah poligami.Poligami, Wahyu Ilahi yang DitolakSaudaraku -yang semoga selalu mendapatkan taufik dari Allah-, mungkin tatkala mendengar ’poligami’ ini sebagian dari kita ada yang tidak senang. Terutama sebagian saudara kita dari kaum hawa merasa terhina dengan hukum islam yang satu ini. Namun perlu diketahui bahwa poligami memiliki ketetapan hukum dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Dalam firman-Nya, Allah telah menyatakan yang artinya,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ibnu Katsir mengatakan,”Nikahilah wanita mana saja yang kalian suka selain wanita yang yatim tersebut. Jika kalian ingin maka nikahilah dua, atau tiga atau jika kalian ingin lagi boleh menikahi empat wanita. (Shohih Tafsir Ibnu Katsir).
Syaikh As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Poligami ini dibolehkan karena terkadang seorang pria tidak bisa untuk menahan syahwatnya dengan hanya satu istri (karena seringnya istri berhalangan melayani suaminya seperti tatkala haidh, pen). Maka Allah membolehkan untuk memiliki lebih dari satu istri dan dibatasi dengan empat istri. Dibatasi demikian karena biasanya setiap orang sudah merasa cukup dengan empat istri, dan jarang sekali yang belum merasa puas dengan yang demikian. Dan poligami ini diperbolehkan baginya jika dia dipercayai tidak berbuat aniaya dan dzolim (dalam hal pembagian giliran dan nafkah, pen) serta dipercaya pula dapat menunaikan hak-hak istri. (Taisirul Karimir Rohman)
Hikmah dari Wahyu Ilahi
Setiap wahyu yang diturunkan oleh pembuat syari’at pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar. Begitu juga dibolehkannya poligami oleh Allah, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar baik bagi individu, masyarakat dan umat Islam.
Di antaranya :
(1) Dengan banyak istri akan memperbanyak jumlah kaum muslimin.
(2) Bagi laki-laki, manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan untuk memperbanyak umat ini, dan tidak mungkin optimalisasi ini terlaksana jika hanya memiliki satu istri saja.
(3) Untuk kebaikan wanita, karena sebagian wanita terhalang untuk menikah dan jumlah laki-laki itu sedikit dibanding wanita, sehingga akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami.
(4) Dapat mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menceraikannya, dengan menikah lagi ada yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan dia dan anak-anaknya.
(5) Dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. (Lihat penjelasan ini di Majalah As Sunnah, edisi 12/X/1428, rubrik ’Mabhats’)
Tidak Mau Poligami, Janganlah Menolak Wahyu Ilahi
Sebenarnya poligami sifatnya tidaklah memaksa. Kalau pun seorang wanita tidak mau dimadu atau seorang lelaki tidak mau berpoligami tidak ada masalah. Dan hal ini tidak perlu diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami).
Seakan-akan ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak konsep poligami. Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah sumber kesengsaraan dan kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang keladi rumah tangga yang berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di tengah masyarakat saat ini sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di negeri ini dilarang. (Lihat Majalah Fatawa, Vol.III/No.02)
Menepis Kekeliruan Pandangan terhadap Poligami
Sungguh aneh, di antara tokoh-tokoh Islam atau cendekiawan muslim saat ini, ada yang sedikit rancu pemikirannya terhadap hukum poligami. Bahkan ada di antara mereka yang menolak hukum dibolehkannya poligami dengan berbagai macam dalih. Di antara pernyataan mereka adalah : ”Tidak mungkin para suami mampu berbuat adil di antara para isteri tatkala berpoligami, dengan dalih firman Allah yang artinya,”Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisaa’: 3). Dan firman Allah yang artinya,”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An Nisaa’: 129).”
Jawab: Yang dimaksud dengan ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil” dalam ayat di atas adalah kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta, kecondongan hati dan berhubungan intim. Karena kaum muslimin telah sepakat, bahwa menyamakan yang demikian kepada para istri sangatlah tidak mungkin dan ini di luar kemampuan manusia, kecuali jika Allah menghendakinya.
Dan telah diketahui bersama bahwa Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ’anha lebih dicintai Rasulullah daripada istri beliau yang lain, karena Aisyah masih muda, cantik dan cerdas. Adapun perkara-perkara yang dzohir (nampak) seperti tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu untuk berbuat adil. Hal ini sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar.Ada juga di antara masyarakat yang menyatakan bahwa poligami juga akan mengancam mahligai rumah tangga (sering timbul percekcokan).
Maka kami jawab: Perselisihan yang muncul di antara para istri merupakan sesuatu yang wajar, karena rasa cemburu adalah tabiat mereka. Untuk mengatasi hal ini, tergantung dari para suami untuk mengatur urusan rumah tangganya, keadilan terhadap istri-istrinya, dan rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga, juga tawakkal kepada Allah. Dan kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga dengan satu istri juga sering terjadi pertengkaran dan bahkan lebih. Jadi, ini bukanlah alasan untuk menolak poligami. (Silakan lihat Majalah As Sunnah edisi 12/X/1428)
Apa yang Terjadi jika Wahyu Ditolak ?
Allah telah banyak mengisahkan di dalam Al Qur’an kepada kita tentang umat-umat yang mendustakan para rasul. Mereka ditimpa berbagai macam bencana dan masih nampak bekas-bekas dari negeri-negeri mereka sebagai pelajaran bagi umat-umat sesudahnya. Mereka juga dirubah bentuknya menjadi kera dan babi disebabkan menyelisihi rasul mereka. Ada juga yang terbenam dalam tanah, dihujani batu dari langit, ditenggelamkan di laut, ditimpa petir dan disiksa dengan berbagai siksaan lainnya. Semua ini disebabkan karena mereka menyelisihi para rasul, menentang wahyu yang mereka bawa, dan mengambil penolong-penolong selain Allah.Yang demikian sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah) bagi siapa saja yang menyelisihi para rasul-Nya, menentang wahyu yang mereka bawa, dan mengikuti jalan selain jalan yang ditunjuki para rasul.
Dan Allah masih meninggalkan bekas-bekas negeri para penentang rasul yang telah dihancurkan, agar kita dapat mengambil pelajaran dari mereka. Agar kita tidak melakukan seperti apa yang mereka perbuat, sehingga kita akan disiksa sebagaimana mereka. Sebagaimana firman Allah yang artinya,”Sesungguhnya kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik. Dan Sesungguhnya kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.” (Al Ankabut: 34-35). Dan firman Allah yang artinya,”Kemudian kami binasakan orang-orang yang lain. Dan Sesungguhnya kamu (hai penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi, dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak memikirkan?” (Ash Shaffat: 136-138) yaitu bekas-bekas di kota kaum Luth.
Dan banyak sekali ayat yang seperti ini dalam Al Qur’an. Allah menceritakan kebinasaan bagi orang-orang yang menyelisihi para rasul dan keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti mereka. Allah menyebutkan seperti ini pula dalam surat Asy Syu’ara mulai dari kisah Musa, Ibrahim, Nuh, kaum ’Aad, Tsamud, Luth, dan Syu’aib. Allah menyebut pada setiap Nabi tentang kebinasaan orang yang menyelisihi mereka dan keselamatan bagi para rasul dan pengikut mereka. Kemudian Allah mengakhiri kisah tersebut dengan firman-Nya yang artinya,”Maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata, dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy Syu’ara: 158-159).
Allah mengakhiri kisah tersebut dengan dua asma’ (nama) -Nya yang dari kedua nama itu akan menunjukkan sifat-Nya. Kedua nama tersebut adalah ’Maha Perkasa lagi Maha Penyayang’. Yaitu Allah akan membinasakan musuh-Nya dengan ’izzah/ keperkasaan-Nya. Dan Allah akan menyelamatkan para rasul dan pengikutnya dengan rahmat/kasih sayang-Nya. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Semoga Allah Yang Maha Agung menjadikan kita orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dan beriman terhadap apa yang beliau bawa. Semoga Allah menghidupkan kita berada di atas sunnah beliau shallallahu ’alaihi wa sallam dan mematikan kita pula di atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Do’a hamba-Nya.
Alhamdulillahi rabbil ’alamin wa shallallahu ’ala sayyidina Muhammad wa ashabihi ath thoyyibina ath thohirin.

Karakteristik Wanita [istri] Yang Menjadi Pendamping Hidup Idaman Pria [suami]

Selalu memberikan masukan kepada suami 
Tidak jarang seorang suami tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya setelah mereka berumah tangga. Oleh karena itu, yang pertama harus dikerjakan seorang istri adalah membantu memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benak suami. Seorang istri harus membantu suaminya mengetahui apa target yang dikejar dalam kehidupannya. Tentu dengan bahasa yang baik dan spoan, tidak seolah-olah menggurui.


Menghidupkan semangat dan harapan suami
Di antara ciri khusus istri cerdas adalah selalu berusaha membangkitkan semangat dan menghidupkan harapan dalam diri suaminya, begitu pula pada anaknya, saudaranya, atau ayahnya sekalipun. Janganlah sekali-kali seorang istri mengatakan bahwa suaminya selalu mengalami kegagalan. Menurut Margaret Colcen, kewajiban terpenting seorang istri adalah memanfaatkan waktu makan bersama untuk berbicara dangan suami tentang harapan, optimisme, dan keberhasilan.

Bunda Khadijah –Radhiyallohu Ta’Ala ‘Anha- selalu mampu memberikan semangat untuk Muhammad Saw lewat kata-kata dan perilaku yang menarik. Ungkapannya berisi daua hal:

1. Meyakinkan kepada suami bahwa perjuangannya benar dan lurus.
2. Memuji dan menganggap suami mempunyai potensi yang dapat dijadikan modal.
3. Dorongan semangat bahwa usahanya akan berhasil dan menghasilkan.
Jangan lupa, pujian yang tidak berlebihan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pembangkitan suami.

Mengimbangi kecemasan suami dengan sikap dan tindakan simpatik
Seorang wanita sama sekali tidak dapat membahagiakan suami dan mendorongnya mencapai keberhasilan, kecuali bila ia tetap kreatif dan mampu menghiburnya. Hendaklah seorang istri benar-benar memahami bahwa suaminya sangat membutuhkan pandangan yang mendalam dari istrinya mengenai apa yang dilakukannya.
Harus dipahami oleh seorang istri, kecemasan suami mendorongnya uring-uringan, terkadang marah-marah, dan emosinya cepat meninggi. Hal ini sangan wajar, sebab, suami sedang mencari pelampiasan ketegangan. Sebagai istri yang baik, jangan sekali-kali mengimbanginya dengan emosi dan marah juga. Sikap yang seperti itu, ikut terbawa marah dan emosi, dapat membuat kapal suami yang semakin menghilangkan kekuatan semangat dan kesabarannya. Yang tepat dilakukan oleh seorang istri adalah menyarankannya untuk berdzikir kepada Allah dan sholat. Atau, ajaklah dia tidur, supaya ketegangannya menurun.
Pandai melontarkan kritik membangun
Kritik yang diberikan seorang istri adalah bantuan berharga bagi seorang suami. Orang yang paling tahu dan merasakan kekurangan suami adalah istri. Istri adalah orang yang tahu luar dalam suaminya.
Anti campur tangan
Seorang istri cerdas akan menguras pikirannya untuk mencari cara agar suaminya dapat tenang dan konsentrasi pada kegiatannya. Ia akan membiarkan suaminya berbuat dan mengerjakan pekerjannya tanpa ikut campur di dalamnya, jika suaminya menginginkan hal itu.
Rela memberikan waktu luas kepada suami untuk konsentrasi pada tugasnya
Seorang suami yang pandai adalah suami yang dapat memenuhi kewajiban tugas dan hak keluarga. Sedangkan istri yang cerdas adalah istri yang banyak legowo atas hak diri dan lebih mementingkan kemaslahatan keluarga. “Biarlah dia kurang memperhatikanku, asalkan keutuhan dan kemaslahatan keluarga terjaga dengan baik,” moto inilah yang biasa dipegang wanita terpelajar.
Semoga Bermanfaat.
^_^

Menjaga Ikatan Pernikahan

Hubungan pernikahan memerlukan rasa pengertian yang mendalam antara suami-istri. Beberapa tips untuk menjaga hubungan itu:

Suami bukan Penguasa
Meskipun Islam menjadikan suami sebagai pemimpin rumah tangga, tapi bukan kepemimpinan diktator atau tiran. Suami harus melayani istri dengan baik. Nabi SAW pernah bersabda “Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam
 
memperlakukan istri” (HR At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani).Menjadi Partner
Buatlah keputusan bersama untuk keluarga. Keharmonisan rumah tangga akan lebih jika keputusan yang diambil tidak sepihak dan semua anggota keluarga menjadi bagian dari pengambilan keputusan tersebut.

Jangan Emosional
Jangan pernah emosional baik secara fisik maupun mental kepada pasangan. Nabi SAW tidak pernah menyakiti istrinya. Nabi SAW pernah bersabda “bagaimana mereka bisa berbuat menjadikan istri-istri mereka di siang hari sebagai budak, dan tidur dengan istri mereka di malam hari.”

Menjaga Lisan
Hati-hati dengan ucapan yang engkau katakan ketika dalam keadaan sedih atau emosional. Terkadang akan keluar ungkapan yang tidak pernah diucapkan ketika tidak marah.

Tunjukkan Apresiasi
Jangan pernah membuat pasangan merasa bahwa dia tidak cukup baik pada keluarga atau tidak memuaskan dengan apa yang dia lakukan atau perkerjaannya. Nabi SAW bersabda “pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya”.

Berkomunikasi
Komunikasi adalah hal yang penting. Komunikasi, komunikasi, komunikasi! adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam konseling dan memang hal tersebut perlu dilakukan. Suami istri perlu saling berbicara. Lebih baik jika dalam menghadapi masalah dibicarakan lebih dini dan terbuka,

Banyak Bersyukur
Jangan merasa cemburu dengan orang lain yang hidup lebih baik daripada kita. Allah yang memberikan rezeki. Melihat orang lain yang hidup kurang dari kita akan membuat kita bersyukur. Dan ini akan memberikan banyak manfaat kepada kita.

Berikan Pasangan Waktu untuk Sendiri
Bila pasangan Anda tidak ingin selalu bersama sepanjang waktu, tidak berarti dia tidak mencintai Anda. Orang membutuhkan waktu untuk sendiri dengan berbagai alasan. Terkadang mereka ingin membaca, memikirkan masalah pribadi atau hanya ingin rileks. Jangan membuat mereka merasa berdosa ketika ingin sendiri.

Mengakui Kesalahan
Ketika membuat kesalahan, akui. Ketika pasangan membuat sebuah kesalahan, segera maafkan. Jangan membawa kemarahan di waktu tidur.

Jaga Rahasia
Jangan pernah mendiskusikan pernak-pernik pernikahan dengan orang lain, kecuali jika ada alasan syar’i untuk melakukannya. Beberapa suami-istri, sengaja atau tidak, kerap membicarakan kondisi fisik pasangan mereka kepada orang lain.
Begitulah, pernikahan yang baik memerlukan kesabaran dan keramahan, pengorbanan, empati, cinta, pengertian, kerja keras, saling memaafkan. Semuanya dapat dirangkaikan dalam satu kalimat: selalu memperlakukan pasangan dengan cara seperti kita inginkan orang lain lakukan terhadap kita.

hehe.... tips yg ampuh. coba deh..!! insya Allah langgeng dunia akhirat.aamiin..:D

Ingin Bahagia Dalam Pernikahan? Cobalah BeberapaTips Berikut

Banyaknya terpaan dan cobaan hidup membuat banyak pasangan yang menyerah dan akhirnya memutuskan untuk berpisah. Berikut 8 tips untuk membantu Anda menjaga ikatan pernikahan agar sanggup bertahan meski harus menghadapi beragam ujian.


1. Milikilah komunikasi yang berkualitas

Perkuat hubungan Anda dengan melakukan komunikasi yang teratur dan berkualitas. Jangan sungkan menanyakan hal-hal kecil seperti, “Sudah makan belum?” “Bagaimana harimu di kantor?” atau “Apa saja yang kamu kerjakan hari ini, Sayang?” Pertanyaan-pertanyaan itu memang terkesan sepele, namun hal-hal besar seringkali berawal dari peristiwa ‘kecil’ semacam itu. Perhatian Anda akan membuat harinya lebih baik. Andaipun tak ada masalah, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atas dasar cinta itu tentu bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Biasakan untuk membicarakan hal-hal sekecil apa pun kepada pasangan Anda.



2. Berpacaran setelah menikah

Hal ini sangat-sangat membantu dalam memperdalam keromantisan antara Anda dan pasangan. Setelah menikah, seringkali semua berubah. Kesibukan dan stres bisa membuat Anda berdua jenuh


3. Bulan madu kedua, ketiga, dan seterusnya

Sempatkanlah waktu untuk menghabiskan waktu berdua, mungkin pergi keluar kota menikmati waktu berduaan tanpa adanya gangguan dari pihak-pihak lain. Lupakan pekerjaan, lupakan beban persoalan. Nikmati momen-momen berharga ini untuk semakin menguatkan cinta Anda.


4. Memaafkan dan melupakan

Kata maaf seringkali menjadi kata yang paling sulit dilontarkan, paling pelit diberikan. Tapi mulai saat ini, cobalah untuk jujur saat Anda atau suami telah melakukan kesalahan. Mintalah maaf dan katakan dengan jujur kesalahan yang telah Anda atau dia lakukan tanpa ada yang ditutupi. Tidak cukup hanya dengan saling bersikap jujur dan meminta maaf. Pelaku kesalahan tentu harus berusaha keras untuk tidak lagi mengulangi kesalahannya. Apalagi, jika kekeliruan itu melukai hati pasangannya. Bagi yang merasa dilukai, milikilah hati yang besar untuk memaafkan karena tidak ada manusia yang sempurna. Hargai kejujuran dan keberanian pasangan dengan memaafkan dan melupakan kesalahannya. Setelah itu, jangan pernah lagi mengungkit ‘cerita lama’.


5. Percaya dan terbuka

Kepercayaan memang sulit untuk dimiliki semua orang, namun kepercayaan harus dimiliki jika Anda berniat untuk memiliki keluarga bahagia yang mampu bertahan menghadapi badai kehidupan. Kepercayaan dapat dipupuk jika kita belajar untuk terbuka satu sama lain, tidak menutupi hal sekecil apa pun, menceritakan, dan
memberitahukan hal apa pun kepada pasangan, entah itu kabar yang baik ataupun buruk.


6. Menghargai, mengoreksi, dan memberi pujian

Mengetahui posisi dan kedudukan dalam keluarga. Sebagai istri, Anda berkewajiban untuk melayani dan patuh terhadap suami, sedangkan suami berkewajiban untuk mencintai dan menjaga keutuhan dan kebahagiaan keluarga. Hargailah setiap pendapat yang diutarakan pasangan meski mungkin Anda kurang setuju. Tak ada manusia yang sempurna. Itu artinya, tak ada manusia yang selalu dan pasti benar. Saling mengoreksi (dengan cara yang benar) untuk kebaikan bersama tentu perlu dilakukan. Hargai juga perbedaan pendapat atau pandangan, jika ada. Satu lagi, jangan pelit memberikan pujian tulus. Ini akan menambah hangat kehidupan perkawinan Anda berdua.


7. Berikan dukungan

Pasangan harus bisa saling menopang karena setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri. Baik Anda atau suami harus mampu menutupi kekurangan pasangan dan menonjolkan kelebihannya.


8. Tampil menawan

Setelah menikah, bukan berarti tugas Anda membuat suami terpesona selesai. Justru ini waktu yang tepat untuk mengerahkan upaya tampil istimewa untuknya. Memang tampil ‘wah’ dan memukau tak perlu dilakukan setiap hari, tapi kelihatan rapi dan bersih harus tetap dipertahankan. suami pasti bangga memiliki pasangan yang paham bagaimana dan kapan harus menjaga penampilan. Tampillah menawan danrawatlah diri Anda.

Trinitas, Doktrin Buatan Gereja

pihak Kristen akan membantah keraguan tentang TRINITAS dan membela mati-matian doktrin ini.  Sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para pendukung Trinitas: Apakah doktrin Trinitas diajarkan dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru?
Dalam Perjanjian Lama
The Encyclopedia of Religion menuliskan : “para teolog dewasa ini setuju bahwa AlKitab Ibrani (Perjanjian Lama) tidak memuat doktrin tentang Tritunggal”.
New Catholic Encyclopedia mengakui: “Doktrin Tritunggal tidak diajarkan dalam Perjanjian Lama”.

Imam Jesuit Edmund Fortman dalam bukunya The Triune God juga mengakui: “Perjanjian Lama….tidak secara tegas ataupun samar-samar memberi tahu kepada kita mengenai Allah Tiga Serangkai yang adalah Allah, Anak dan Roh Kudus…. Bahkan mencari di dalam “Perjanjian Lama” kesan-kesan atau gambaran di muka atau ‘tanda-tanda terselubung’ mengenai trinitas dari pribadi-pribadi, berarti melampaui kata-kata dan tujuan dari para penulis tulisan-tulisan suci”
Dalam Perjanjian Baru
The Encyclopedia of Religion mengatakan: “Para teolog setuju bahwa Perjanjian Baru juga tidak memuat doktrin yang jelas mengenai Tritunggal”.
Imam Jesuit Fortman menegaskan: “Para penulis Perjanjian Baru…tidak memberi kita doktrin Tritunggal yang resmi atau dirumuskan, juga tidak ajaran yang jelas bahwa dalam satu Allah terdapat tiga pribadi ilahi yang setara. ….. Di manapun kita tidak menemukan doktrin tritunggal dari tiga subyek kehidupan dan kegiatan ilahi yang berbeda dalam keilahian yang sama”.
The New Encyclopedia Britannica mengatakan: “Kata Tritunggal atau doktrinnya yang jelas tidak terdapat dalam Perjanjian Baru”.
Bernhard Lohse dalam A Short History of Christian Doctrine menegaskan: Sejauh ini menyangkut Perjanjian Baru, seseorang tidak menemukan di dalamnya doktrin Tritunggal yang aktual”.
The New International Dictionary of New Testament Theology dan teolog Karl Barth mengatakan: “Perjanjian Baru tidak memuat doktrin Tritunggal yang diperkembangkan”. ‘AlKitab tidak memuat deklarasi yang terus terang bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah dari zat yang sama’.

Perjanjian Lama tegas Monoteistik. Allah adalah pribadi tunggal (bukan Tritunggal). Tentang hal ini tidak ada pemisahan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ajaran Monoteistik terus berlanjut, dan Yesus lahir sebagai orang Yahudi. Ajarannya memiliki inti Yahudi (Allah tunggal); Benar dia mengajarkan sebuah Injil baru tetapi bukan sebuah teologi baru. (L.L Paine, A Critical History of the Evolution of Trinitarianism, Boston 1902)
Jadi, dari ke-39 kitab Ibrani (Perjanjian Lama), maupun ke-27 kitab Yunani Kristen (Perjanjian Baru), seluruh pasal dan ayat-ayat AlKitab sama sekali tidak ada yang memuat ajaran Trinitas!
Para sejarawan dan teolog pun menolak keberadaan doktrin tersebut. “Kepercayaan tentang Allah yang terdiri dari beberapa pribadi (Tritunggal) keluar dari konsep Allah Yang Esa …”. Chief Rabbi J.H Herzt, Pentateuch and Haftorahs, London, 1960
Demikian bantahan terhadap Doktrin TRINITAS yang berasal dari mereka sendiri. Dari pendapat-pendapat para sejarawan dan teolog tersebut secara umum kita dapat simpulkan, bahwa Doktrin Trinitas tidak berdasar pada Bibel sebagai kitab suci umat Kristen. Namun lebih berupa doktrin yang dibuat oleh Gereja yang diputuskan sebelum akhir abad ke-4, tepatnya yakni pada saat Konsili Nicea tahun 325M

Surat Cinta Untuk Calon Suami

Seorang gadis menulis surat untuk calon suaminya dan menyimpannya di atas awan. Ini isi suratnya :

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Dear calon suamiku…

Apa kabarnya imanmu hari ini? Sudahkah harimu ini diawali dengan syukur karena dapat menatap kembali fananya hidup ini? Sudahkah air wudhu menyegarkan kembali ingatanmu atas amanah yang saat ini tengah kau genggam?
Wahai Calon Suamiku…

Tahukah engkau betapa Allah sangat mencintaiku dengan dahsyatnya? Disini aku ditempa untuk menjadi dewasa, agar aku lebih bijak menyikapi sebuah kehidupan dan siap mendampingimu kelak. Meskipun kadang keluh dan putus asa menyergapi, namun kini kurasakan diri ini lebih baik.
Kadang aku bertanya-tanya, kenapa Allah selalu mengujiku tepat dihatiku. Bagian terapuh diriku, namun aku tahu jawabannya. Allah tahu dimana tempat yang paling tepat agar aku senantiasa kembali mengingat-Nya kembali mencintai-Nya. Ujian demi ujian Insya Allah membuatku menjadi lebih tangguh, sehingga saat kelak kita bertemu, kau bangga telah memiliki aku dihatimu, menemani harimu.
Calon suamiku…
Entah dimana dirimu sekarang. Tapi aku yakin Allah pun mencintaimu sebagaimana Dia mencintaiku. Aku yakin Dia kini tengah melatihmu menjadi mujahid yang tangguh, hingga akupun bangga memilikimu kelak.
Apa yang kuharapkan darimu adalah kesalihan. Semoga sama halnya dengan dirimu. Karena apabila kecantikan yang kau harapkan dariku, hanya kesia-siaan yang dapati.
Aku masih haus akan ilmu. Namun berbekal ilmu yang ada saat ini, aku berharap dapat menjadi isteri yang mendapat keridhaan Allah dan dirimu, suamiku.
Wahai calon suamiku…
Saat aku masih menjadi asuhan ayah dan bundaku, tak lain doaku agar menjadi anak yang solehah, agar kelak dapat menjadi tabungan keduanya di akhirat. Namun nanti, setelah menjadi isterimu, aku berharap menjadi pendamping yang solehah agar kelak disyurga cukup aku yang menjadi bidadarimu, mendampingi dirimu yang soleh.
Aku ini pencemburu berat. Tapi kalau Allah dan Rasulullah lebih kau cintai daripada aku, aku rela. Aku harap begitu pula dirimu.
Pernah suatu ketika aku membaca sebuah kisah; “Aku minta pada Allah setangkai bunga segar, Dia memberiku kaktus berduri. Aku minta kepada Allah hewan mungil nan cantik, Dia beri aku ulat berbulu. Aku sempat kecewa dan protes. Betapa tidak adilnya ini.
Namun kemudian kaktus itu berbunga, sangat indah sekali. Dan ulatpun tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yang teramat cantik. Itulah jalan Allah, indah pada waktunya. Allah tidak memberi apa yang kita inginkan, tapi Allah memberi apa yang kita butuhkan.”
Aku yakin kaulah yang kubutuhkan, meski bukan seperti yang aku harapkan.
Calon suamiku yang di rahmati Allah…
Apabila hanya sebuah gubuk menjadi perahu pernikahan kita, takkan kunamai dengan gubuk derita. Karena itulah markas dakwah kita, dan akan menjadi indah ketika kita hiasi dengan cinta dan kasih.
Ketika kelak telah lahir generasi penerus dakwah islam dari pernikahan kita, Bantu aku untuk bersama mendidiknya dengan harta yang halal, dengan ilmu yang bermanfaat, terutama dengan menanamkan pada diri mereka ketaatan kepada Allah SWT.
Bunga akan indah pada waktunya. Yaitu ketika bermekaran menghiasi taman. Maka kini tengah kupersiapkan diri ini sebaik-baiknya, bersiap menyambut kehadiranmu dalam kehidupanku.
Kini aku sedang belajar menjadi yang terbaik. Meski bukan umat yang terbaik, tapi setidaknya menjadi yang terbaik disisimu kelak.
Calon suamiku…
Inilah sekilas harapan yang kuukirkan dalam rangkaian kata. Seperti kata orang, tidak semua yang dirasakan dapat diungkapkan dengan kata-kata. Itulah yang kini kuhadapi. Kelak saat kita tengah bersama, maka disitulah kau akan memahami diriku, sama halnya dengan diriku yang akan belajar memahamimu.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

ZAKAT EMAS DAN PERAK

Emas
----
Adapun nisab emas sebesar 20 Dinar (85 gram), dengan haul selama satu tahun dan kadar 2,5%. Artinya bila seorang muslim memiliki emas sebesar setidaknya 20 Dinar (85 gram) selama satu tahun ia wajib membayar zakat sebesar 2,5% dari jumlah emasnya tersebut minimal 1/2 Dinar.

Emas yang tidak terpakai
------------------------

Yang termasuk dalam kategori ini adalah emas yang tidak digunakan sehari-hari baik sebagai perhiasan atau keperluan lain (disimpan).

Contoh perhitungan zakatnya sebagai berikut: Fulan memiliki 100 gram emas tak terpakai, setelah genap satu tahun maka ia wajib membayar zakat setara dengan 100 X 2,5 % = 2,5 gram emas. Jika harga emas saat itu adalah Rp 100.000 maka ia dapat membayar dengan uang sebanyak 2,5 X 100.000 = Rp 250.000.

Sebagian emas terpakai
----------------------
Emas yang dipakai adalah dimaksudkan dalam kondisi wajar dan jumlah tidak berlebihan. Atas bagian yang terpakai tersebut, tidak diwajibkan membayar zakat.

Contoh perhitungan zakatnya sebagai berikut: Seorang wanita mempunyai emas 120 gr, dipakai dalam aktivitas sehari-hari sebanyak 15 gr. Maka zakat emas yang wajib dikeluarkan oleh wanita tersebut adalah 120 gr - 15 gr = 105 gr. Bila harga emas Rp 70.000,- maka zakat yang harus dikeluarkan sebesar : 105 x 70.000 x 2,5 % = 183.750

Perak
-----
Nisab perak adalah 200 Dirham (595 gram), haul selama satu tahun dan kadar 2,5% atau sekurang kurangnya 5 Dirham. Adapun tatacara perhitungannya sama dengan zakat emas.
contoh lain:

Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %. Demikian juga segala macam jenis harta yang merupakan harta simpanan dan dapat dikategorikan dalam "emas dan perak", seperti uang tunai, tabungan, cek, saham, surat berharga ataupun yang lainnya. Maka nishab dan zakatnya sama dengan ketentuan emas dan perak, artinya jika seseorang memiliki bermacam-macam bentuk harta dan jumlah akumulasinya lebih besar atau sama dengan nishab (85 gram emas) maka ia telah terkena wajib zakat (2,5 %). Contoh :
Seseorang memiliki simpanan harta sebagai berikut :

Tabungan..................
................Rp 5 juta
Uang tunai (diluar kebutuhan pokok).......Rp 2 juta
Perhiasan emas (berbagai bentuk)..........100 gram
Utang yang harus dibayar (jatuh tempo)....Rp 1.5 juta

Perhiasan emas atau yang lain tidak wajib dizakati kecuali selebihnya dari jumlah maksimal perhiasan yang layak dipakai. Jika layaknya seseorang memakai perhiasan maksimal 60 gram maka yang wajib dizakati hanyalah perhiasan yang selebihnya dari 60 gram. Dengan demikian jumlah harta orang tersebut, sbb :

1.Tabungan................
................Rp 5.000.000
2.Uang tunai.....................
.........Rp 2.000.000
3.Perhiasan (10-60) gram @ Rp 25.000......Rp 1.000.000
Jumlah....................
................Rp 8.000.000
Utang.....................
................Rp 1.500.000
Saldo.....................................Rp 6.500.000

Besar zakat = 2,5% x Rp 6.500.000 = Rp 163.500,- Catatan :
Perhitungan harta yang wajib dizakati dilakukan setiap tahun pada bulan yang sama.
Atas bagian yang terpakai tersebut, tidak diwajibkan membayar zakat.

Sebagian emas terpakai
----------------------
Emas yang dipakai adalah dimaksudkan dalam kondisi wajar dan jumlah tidak berlebihan. Atas bagian yang terpakai tersebut, tidakdiwajibkan membayar zakat.

Contoh perhitungan zakatnya sebagai berikut: Seorang wanita mempunyai emas 120 gr, dipakai dalam aktivitas sehari-hari sebanyak 15 gr. Maka zakat emas yang wajib dikeluarkan oleh wanita tersebut adalah 120 gr - 15 gr = 105 gr. Bila harga emas Rp 70.000,- maka zakat yang harus dikeluarkan sebesar : 105 x 70.000 x 2,5 % = 183.750
Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat). Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.
Emas Putih berbeda dgn PLATINUM.
Kadang Platinum di sebut emas putih padahal bukan.
tetapi keduanya merupakan Logam Mulia yg sering dibuat utk perhiasan.

Emas putih adalah aloi emas dan lain lain logam yang mengandungi perak, nikel, platinum dan palladium. Seperti emas kuning, emas putih boleh jadi 18 karat, 14 karat, 8 karat atau mana mana karat yang sesuai. Emas putih 18 karat adalah campuran 75 peratus emas dan 25 peratus lain lain logam seperti perak dan palladium. Warna emas ini adalah putih.

Ciri ciri :

Ciri ciri emas putih biasanya berbeza mengikut jenis logam dan jumlah kandungan yang digunakan. Sebagai contoh, aloi yang menggunakan nikel biasanya keras dan sangat kuat, jadi ia boleh digunakan sebagai cincin atau pin. Emas putih yang mengandungi palladium lebih lembut dan fleksibel dan boleh dibuat untuk memegang batu permata.

Emas putih yang dikatakan putih itu sebenarnya berwarna kelabu seperti keluli. Ia perlu dirawat menggunakan logam rodium untuk membuat warnanya menjadi lebih putih.

Terdapat pelbagai pilihan barang kemas yang dibuat daripada emas putih dipasaran seperti pin, keronsang, rantai leher, gelang dan cincin. Pada masa sekarang, semakin ramai pasangan yang memilih cincin perkahwinan atau pertunangan yang diperbuat dari emas putih bagi melambangkan kesucian dan ketulusan ikatan tersebut.

Cara menjaga :

Emas putih disadur oleh logam rodium. Rodium mempunyai ciri ciri yang sama seperti platinum termasuk berwarna putih. Oleh kerana warna asal emas putih adalah kelabu cair, saduran rodium akan membuat emas putih berwarna lebih keputihan. Jadi, emas putih perlu disadur semula setiap 12 hingga 18 bulan kerana saduran rodium akan terhakis bersama masa.

Zakat Pertanian

Zakat Hasil pertanian merupakan salah satu jenis Zakat Maal, obyeknya meliputi hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.

Nisab



Nisab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. (pendapat lain menyatakan 815 kg untuk beras dan 1481 kg untuk yang masih dalam bentuk gabah).[1][2]
 
Tetapi jika hasil pertanian itu bukan merupakan makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nisabnya disetarakan dengan harga nisab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras/sagu/jagung).
Kadar

Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.
Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairidengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).
Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).
Waktu pengeluaran

Tiap panen
  Dasar hukum wajib zakat pertanian dan perkebunan ditentukan secara umum dalam Al-Qur’an, antara lain :

1. Surat Al-Baqarah ayat 267 sebagai berikut :

يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض-الآية

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu“.

Perintah infaq dalam ayat ini pada dasarnya menunjukkan wajib. Banyaklah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan kata “infaq” tujuannya infak wajib, yaitu zakat. Penyusun Al-Bahr al-Muhith yang dilansir oleh Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa menurut Ali bin Abi Thalib, Ubaidah al-Salmanie dan Ibnu Sirin maksud ayat tersebut adalah zakat yang diwajibkan (Al -Tafsir al-Munir, III : 60). Tetapi Al-Jashshash mengatakan bahwa kata infaq dalam ayat ini maksudnya shadaqah, bukan zakat. Alasannya ada petunjuk dari kalimat : “wala tayammamu al-khabits minhu tunfiquun” (janganlah kamu memilih yang jelek-jelek untuk kamu infakan dari padanya). Menurut pendapatnya tidak ada perselisihan antara ulama salaf dan khalaf bahwa yang dimaksudkannya adalah shadaqah (Ahkam al-Qur’an, I : 543). Dengan demikian berpegang pada petunjuk lahir dari ayat tersebut, maka pengertiannya mencakup infak wajib (zakat) dan infak suka rela (al-tathawwu’).

2. Surat Al-An’am ayat 141 sebagai berikut :

وهو الذى أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والنخل والزرع

مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره

إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده-الآية

Artinya :

“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”

Kebanyakan ulama salaf berpendapat bahwa yang dimaksud “haknya” dalam ayat ini adalah zakat yang diwajibkan, yaitu sebesar 10% atau 5%. Ulama shahabat, tabi’in, dan pemuka madzhab yang berpendapat demikian antara lain : Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, al-Hasan, Said bin al-Musayyab, Muhammad bin Hanafiyah, Thawus, Qatadah, Adh-Dhahaq, Abu Ja’far al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Wahb, Ibn al-Qasim, Malik, Abu Hanifah dan ulama pendukung madzhabnya serta sebagian ulama Syafi’iyah. Sementara itu ada ulama lain yang berpendapat bahwa perintah ayat ini terjadi sebelum turun ayat zakat, kemudian dimansuh oleh ayat zakat dan ketentuan mengeluarkan 10% atau 5% (Yusuf Qardlawie, Fiqh al-Zakat, III : 344-345). Namun apabila dicermati, maka kedua pendapat tersebut secara prinsip tidak bertentangan, karena pendapat pertama yang dianggap telah dimansuh oleh ayat zakat dan ketentuan 10% atau 5% itu mengemukakan bahwa yang dimaksud “haknya” adalah 10% atau 5% harta yang wajib dikeluarkan, yakni harta zakat.

3. Hadits riwayat dari Abdullah bin Umar ra bahwa Nabi SAW bersabda :

فيما سقت السماء والعيون أو كان عثريا العشر وفيما سقى بالنضح

نصف العشر-رواه الجماعة الا مسلما لكن لفظ النسائى وأبى داود

وابن ماجه (بعلا) بدل (عثريا)

Artinya :

“Pada produksi pertanian yang diairi dengan air hujan dan dari mata air atau memperoleh air dari dekat, maka zakatnya sepuluh persen; dan pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan alat angkutan air, maka zakatnya lima persen” (HR. Sejumlah besar Ahli Hadits kecuali Muslim)

4. Hadits riwayat dari Jabir ra bahwa Nabi SAW bersabda :

فيما سقت الأنهار والغيم العشور وفيم سقى بالسانية نصف

العشور-رواه أحمد ومسلم والنسائى وأبو داود وقال : الأنهار

والعيون

Artinya :

“Pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan air sungai dan air hujan, zakatnya sepuluh persen, dan hasil produksi pertanian yang diairi dengan alat penyiram maka zakatnya lima persen” (HR Ahmad, Muslim, Nasa’ie dan Abu Dawud)

Dua buah hadits tersebut menjelaskan kewajiban membayar zakat pertanian dan perkebunan sebanyak 10% apabila diairi dengan air hujan atau melalui selokan, dan 5% apabila diairi dengan alat angkutan atau lainnya yang memerlukan biaya besar (Hasan Sulaiman al-Nurie dan Alawi Abbas al-Maliki, Ibanah al-Ahkam, II : 304-306).

5. Dasar Ijma’ ; para ulama sepakat menetapkan kewajiban membayar zakat sebesar 10% atau 5% untuk pertanian dan perkebunan, walaupun terjadi ikhtilaf di kalangan mereka dalam hal-hal yang rinci (Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Zakat, I : 348)

C. Produksi Pertanian yang Wajib Zakat

Dengan landasan hukum di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai hasil pertanian dan perkebunan yang terkena wajib zakat. Sebagian mereka membatasi hanya pada jenis pertanian dan perkebunan yang disebutkan dalam hadits, yaitu gandum (hinthah) dan gandum jenis lain (sya’ir), korma dan anggur. Sebagian yang lain menambahkan hasil-hasil produksi yang dapat dijadikan bahan makanan pokok, dapat dikeringkan dan tahan lama. Sebagian yang lain lagi berpendapat seluruh hasil produksi yang dapat ditakar, dikeringkan dan tahan lama. Dan ada lagi yang berpendapat mencakup seluruh produksi yang mempunyai nilai ekonomi. Alasan masing-masing sebagai berikut :

1. Mazhab Ibnu Umar dan segolongan ulama salaf

Ibnu Umar dan sejumlah ulama Tabi’in serta orang-orang yang datang di belakang mereka berpendapat bahwa zakat pertanian dan perkebunan hanya berlaku pada empat jenis tanaman, yaitu : gandum (hinthah), gandum jenis lain (sya’ir), korma dan anggur, selainnya tidak wajib zakat. Diantara ulama yang berpendapat demikian ialah : Ahmad, Musa bin Thalhah, al-Hasan, Ibnu Sirin, Al-Sya’bi, al-Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila, Ibn al-Mubarak, Abi Ubaid, dan Ibrahim, tetapi Ibrahim menambahkan jagung (Ibn Hazm, al-Muhalla, V : 209 & Ibnai Qudamah, al-Mughni, II : 691). Mereka beralasan dengan hadits riwayat Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari Datuknya berkata :

إنما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة فى الحنطة والشعير والتمر والزبيب-

رواه ابن ماجه والدارقطنى وزاد ابن ماجه (الذرة)

Artinya :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberlakukan zakat hanya pada gandum dan sejenis gandum lain, korma dan angur” (HR Ibn Majah dan al-Daraquthni, Ibn Majah menambahkan “jagung”)

Dan berdasarkan riwayat dari Abu Musa dan Mu’adz ketika keduanya diangkat menjadi guru ngaji di Yaman dan sekaligus menjadi ‘amil di sana, Rasulullah SAW berpesan :

لاتأخذا الصدقة الا من هذه الأربعة : الحنطة والشعير والتمر والزبيب-رواه الطبرانى والحاكم

Artinya :

“Janganlah kamu memungut (zakat) kecuali dari empat jenis ini : gandum, gandum jenis lain, korma dan angur” (HR al-Thabarani dan al-Hakim)

Berdasarkan kedua riwayat tersebut mereka berpendapat bahwa selain dari empat jenis produksi pertanian dan perkebunan yang tercantum dalam hadits tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena tidak ada ijma dan tidak ada makna-makna lain yang terkandung di dalamnya baik dari segi manfaat atau dari segi lainnya.

2. Madzhab Malik dan al-Syafi’ie

Imam Malik dan al-Syafi’ie berpendapat bahwa obyek zakat pertanian dan perkebunan meliputi berbagai jenis tanaman yang menjadi bahan makanan pokok, dapat disimpan dan dikeringkan seperti gandum, jagung, beras dan sejenisnya. Menurut mereka tidaklah wajib zakat jenis-jenis tanaman yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Buah pala, kemiri, kenari dan sejenisnya tidak wajib zakat karena bukan makanan pokok; Jambu, jeruk, delima, buah per, apel dan sejenisnya juga tidak wajib zakat karena tidak dapat dikeringkan dan disimpan lama (Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Zakat, I : 350-351).

Al-Qurthubi menyebutkan bahwa Al-Syafi’ie menegaskan : tidak ada zakat pada buah-buahan selain korma dan anggur. Alasannya karena Nabi SAW hanya memungut zakat pada kedua jenis buah-buahan tersebut dan keduanya memang menjadi bahan makanan pokok bagi penduduk Hijaz dan dapat disimpan lama. Menurut Al-Syafi’ie buah zaitun tidak ajib zakat dengan alasan disebut bersama-sama dengan delima yang tidak wajib zakat (dalalah al-iqtiran, QS al-An’am, 6 : 141). Demikian pendapat beliau ketika di Mesir, tetapi ketika di Iraq beliau mengatakan buah zaitun wajib zakat (Al-Qurthubi, VII : 103)

3. Madzhab Ahmad bin Hanbal

Pendapat Ahmad bin Hanbal beragam, tetapi yang terkenal disebutkan dalam kitab al-Mughni (jilid II hal. 547-548) meliputi seluruh hasil pertanian dan perkebunan yang dapat ditimbang atau ditakar, tahan lama, dan dapat dikeringkan, baik berupa bahan makanan pokok seperti gandum, beras, jagung dan sebagainya maupun berupa kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang kedele, kacang polong dan sebagainya, atau berupa bumbu-bumbuan seperti jintan putih, atau biji-bijian seperti biji kol dan sebagainya. Adapun sayur mayur tidak wajib dizakati karena tidak dapat ditimbang atau ditakar dan bukan biji-bijian. Dasarnya ialah petunjuk umum dari hadits yang menentukan kadar zakat tanaman yang diairi dengan air hujan dan kadar zakat yang diairi dengan alat angkutan, serta hadits Mu’adz ketika mendapat perintah untuk memungut zakat, Nabi SAW bersabda :

خذ الحب من الحب -جزء من حديث رواه ابو داود وابن ماجه

Artinya :

“Pungutlah biji-bijian dari biji-bijian” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)

Mafhum hadits mencakup makna yang diberikan oleh lafadz tersebut sehingga zakat pertanian diwajibkan pada semua biji-bijian yang relatif tahan lama. Adapun mengenai persyaratan harus dapat ditimbang atau ditakar karena ada petunjuk hadits berikut :

وليس فى حب ولا تمر صدقة حتى يبلغ خمسة اوسق – رواه مسلم والنسائى

Artinya :

“Tidak wajib zakat pada biji-bijian dan korma kecuali telah mencapai lima wasaq” (HR Muslim dan al-Nasa’ie)

Diambil mafhum (mafhum mukhalafah) dari ungkapan kalimat “lima wasaq” dalam hadits ini, maka jenis biji-bijian dan buah-buahan yang tidak dapat ditimbang atau ditakar tidak dikenakan wajib zakat.

4. Madzhab Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil pertanian atau perkebunan wajib dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% apabila dikerjakan dengan tujuan untuk keperluan produksi. Rumput, gelagah, alang-alang yang umumnya tidak dihendaki untuk tumbuh, bahkan perlu dibabad dan dibersihkan, maka tidak wajib zakat. Namun demikian, tanaman pepohonan atau rumput atau gelagah alang-alang sekalipun apabila sengaja diproduksi untuk mendapatkan penghasilan maka hukumnya wajib zakat (Ibn al-Humam al-Hanafi, Fath al-Qadir, II :250-251). Imam Muhammad dan Abu Yusuf berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah ini, mereka mensyaratkan “tahan lama”. Dengan demikian sayur mayur yang tidak dapat disimpan lama, seperti kacang panjang, kol, mentimun, bonteng dan sejenisnya tidak wajib dizakati (Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Zakat, I : 354). Imam Abu Hanifah berpedoman pada petunjuk umum dari ayat 267 Surat al-Baqarah :

ومما أخرجنا لكم من الأرض -الآية

Artinya :

“Dan dari apa yang telah Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…”

Di sini tidak dibedakan antara hasil bumi yang satu dengan hasil bumi yang lainnya, tetapi mencakup semua hasil bumi. Dan berpedoman pada petunjuk yang lebih rinci dari ayat 141 Surat al-An’am :

وآتوا حقه يوم حصاده -الآية

Artinya:

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya…”

Perintah menunaikan haknya dalam ayat ini setelah menyebutkan bermacam-macam makanan dan buah-buahan, yaitu : korma, zaitun, delima dan sebagainya, maka kewajiban mengeluarkan zakat meliputi seluruh macam hasil yang disebutkan dalam ayat tersebut, termasuk sayur-sayuran, apa lagi sayur-sayuran adalah hasil bumi yang paling mungkin untuk diserahkan haknya secara langsung pada saat memanen. Berbeda dengan produksi lainnya yang harus menunggu proses pengolahan dan pengeringan. Demikian pula makna yang tercakup dalam hadits berikut :

وفيما سقت السماء العشر وفيما سقى بالنضح نصف العشر

Artinya :

“Pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan air hujan zakatnya sepuluh persen dan pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan alat angkutan zakatnya lima pesen”

Di sini tidak ada perbedaan antara hasil pertanian yang tahan lama dengan yang tidak, antara yang ditimbang dengan yang tidak, dan antara yang menjadi bahan makanan pokok dengan yang tidak. Sejalan dengan pendapat ini ialah Dawud al-Dhahiri dan ulama madzhabnya -kecuali Ibn Hazm- mengatakan bahwa semua hasil bumi, tanpa kecuali, wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat yang demikian ini berasal dari Al-Nakh’ie dalam salah satu riwayatnya, dari Umar bin Abdul Aziz, Mujahid dan Hammad bin Sulaiman (Fiqh al-Zakat, I : 354)

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan jenis tanaman yang wajib dizakati disebabkan karena perbedaan mereka dalam menentukan illat hukum yang menjadi landasan wajib zakatnya. Baik Al-Qur’an maupun al-Hadits di satu sisi menyebutkan dengan ungkapan kalimat yang mengandung arti umum (al-’am) dan di sisi lain dengan ungkapan kalimat yang menunjukan arti khusus (al-khash), bahkan ada riwayat yang secara eksplisit menyatakan tidak wajib zakat pada selain yang empat jenis pertanian. Bagi ulama yang berpegang pada lahir hadits ini, obyek zakat terbatas pada jenis tanaman yang disebutkan dalam hadits. Bagi ulama yang mengembangkan melalui ijtihad dan menemukan illat hukumnya adalah bahan makanan pokok, maka kewajiban zakat meliputi seluruh hasil pertanian yang menjadi makanan pokok penduduk dalam situasi normal. Bagi ulama yang menentukan illat hukumnya adalah bahan makanan pokok, dapat dikeringkan dan disimpan lama, maka kewajiban zakat meliputi segala jenis tanaman yang hasilnya memenuhi persyaratan tersebut. Bagi ulama yang menentukan illat hukumnya adalah dapat ditimbang atau ditakar, dikeringkan, dan tahan lama atau berupa biji-bijian, maka kewajiban akat meliputi segala jenis tanaman yang dapat diukur dengan illat hukum tersebut. Dan bagi ulama yang memandang bahwa illat hukumnya adalah semata-mata produksi atau penghasilan (min ma yaqshidu bizira’atihi nama’ al-ardl), maka obyek zakat mencakup seluruh hasil produksi yang mempunyai nilai ekonomi.

D. Nisab Zakat Pertanian

Jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya menetapkan bahwa produksi pertanian tidak diwajib dikeluarkan zakatnya kecuali setelah mencapai nisab, yaitu lima wasaq. Ibnai Qudamah menyebutkan ulama yang berpendapat demikian ialah Ibnu Umar, Jabir, Abu Imamah bin Sahl, Umar bin Abudul Aziz, Jabir bin Zaid, Al-Hasan, Atha, Makhul, al-Hakam, al-Nakh’ie, Malik, Ulama Madinah, al-Tsauri, al-Auza’ie, Ibnu Abi Laila, al-Syafi’ie, Abu Yusuf dan Imam Muhammad beralasan dengan hadits berikut (Al-Mughni, I : 552) :

ليس فيما دون خمسة أوسق صدقة -متفق عليه

Artinya :

“Tidak wajib zakat bagi produksi pertanian yang kurang dari lima wasaq” (HR Bukhari-Muslim)

Menurut mereka hadits ini mengandung makna khusus yang harus didahulukan dari pada hadits yang mengandung makna umum yang menjelaskan wajib zakat terhadap hasil pertanian tersebut di atas. Sementara itu Imam Abu Hanifah dan sejumlah ulama yang lain berpendapat bahwa zakat pertanian harus dikeluarkan tanpa memperhitungkan apakah telah mencapai nisab atau belum. Diantara yang berpendapat demikian ialah Imam Mujahid, Hammad bin Abi Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz dalam satu riwayatnya dan Ibrahim al-Nakh’ie. Mereka berpedoman pada petunjuk ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menetapkan wajib zakat pada sektor pertanian secara umum. Di samping itu Dawud al-Dhahiri berpendapat bahwa hasil produksi pertanian yang dapat ditimbang atau ditakar zakatnya setelah mencapai nisab, yaitu lima wasaq sedangkan hasil produksi pertanian yang tidak dapat ditimbang atau ditakar seperti kapuk, za’faran, (minyak kayu putih) dan sayur-sayuran zakatnya dikeluarkan tanpa mempertimbangkan nisab, artinya sedikit atau banyak harus dikeluarkan zakatnya (Fiqh al-Zakat, I : 361-362).

Seandainya kita berpegang pada pendapat Imam Abu Hanifah dalam menentukan obyek zakat yang meliputi seluruh produksi pertanian, maka dalam masalah nisab yang tidak mempertimbangkan nisab tidak mengikutinya. Karena tidak sejalan dengan prinsip umum bahwa zakat diwajibkan pada orang-orang kaya, bukan pada semua orang, sedangkan nisab adalah batas minimal (al-hadd al-adna) dari orang yang dianggap mampu oleh syari’at. Dengan demikian pendapat jumhur adalah pendapat yang kuat.

Nisab hasil pertanian sebagaimana disebutkan dalam hadits ialah 5 wasaq. 1 wasaq sama dengan 60 sha’ sehingga jumlahnya 300 sha’. Para ulama menegaskan bahwa kadar nisab dihitung bersih tanpa kulit, dan apabila buah-buahan sesudah dikeringkan dan siap disimpan, nisbat korma bukan korma segar (ruthab) tetapi korma kering (tamar), dan anggur bukan anggur segar (‘inab) tetapi anggur yang sudah kering (zabib).

Selanjutnya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sha’. Imam Abu Hanifah yang mewakili ulama Iraq mengatakan 1 sha’ sama dengan 8 kati Baghdad. Sementara Imam Malik, Imam Al-Syafi’ie, Ahmad dan lain-lainnya dari ulama Hijaz mengatakan 1 sha’ adalah 5 1/3 kati Baghdad (Fiqh al-Zakat, I : 365-366). Akibatnya nisab pertanian menurut ulama Iraq adalah : 5 wasaq X 60 sha’ X 8 kati = 2400 kati, sedangkan menurut ulama Hijaz : 5 wasaq X 60 sha’ X 5 1/3 kati = 1600 kati. Para penulis fiqh di Indonesia juga berbeda pendapat dalam menentukan kadar wasaq dan sha’ tersebut. Sulaiman Rasjid menulis 1 sha’ sama dengan 3,1 liter. Dengan demikian nisab hasil pertanian adalah 5 wasaq X 60 sha’ X 3,1 liter = 930 liter (Fiqih Islam, 204). Dan Idris Ahmad menulis bahwa 1 sha’ sama dengan 3 1/3 liter sehingga nisab adalah 5 wasaq X 3 1/3 liter = lk. 1000 liter (Fiqh Syafi’ie, 441).

Untuk memudahkan penghitungan, sebaiknya mengambil riwayat bahwa 1 sha’ sama dengan 4 mud, yaitu takaran penduduk Madinah. Rasulullah SAW memberikan petunjuk dalam masalah takaran dan timbangan sebagai berikut (Fiqh al-Zakat, I : 364-365) :

المكيال مكيال أهل المدينة والميزان ميزان أهل مكة – رواه البزار وأبو داود والنسائى

Artinya :

“Takaran gunakanlah takaran penduduk Madinah sedangkan timbangan gunakanlah timbangan penduduk Makah” (HR Al-Bazzar, Abu Dawud dan Al-Nasa’ie)

Ketentuan ini telah dipahami oleh masyarakat muslim di Indonesia, karena setiap tahun mereka membayar zakat fithrah dengan menggunakan sha’ yang sama dengan 4 mud. Dengan demikian nisab pertanian adalah 5 wasaq X 60 sha’ X 4 mud = 1.200 mud. Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) telah mengukur 1 mud beras sama dengan 6 ons sehingga 1 sha’ = 2,4 kg sehingga apabila dihitung dengan timbangan adalah : 5 wasaq X 60 sha’ X 4 mud X 6 ons = 7,20 kwintal. Apabila 1 kwintal padi rata-rata menghasilkan 60 kg beras bersih, maka nisab pertanian ialah 12 kwintal padi.

E. Kadar Zakat Pertanian

Sebagaimana dikemukakan dalam hadits di atas bahwa zakat pertanian dikeluarkan zakatnya 10 % apabila diairi dengan air hujan dan 5% apabila diairi dengan menggunakan angkutan atau sejenis pompa air. Imam al-Nawawie dalam menjelaskan hadits tersebut mengatakan bahwa hasil pertanian yang diproduksi tanpa mengeluarkan biaya besar zakatnya 10 % sedangkan yang memerlukan biaya besar zakatnya 5%. Ketentuan ini sudah tidak dipermasalahkan lagi oleh para ulama karena sudah muttafaq ‘alaih (Syarah Muslim, juz VII : 60). Ia mengomentar lebih jauh bahwa Syari’at Islam menentukan kadar zakat diseuaikan dengan berat dan ringannya cost dan pekerjaan yang dibutuhkan. Cost dan pekerjaan yang paling ringan adalah memeroleh harta rikaz (penemuan harta peningalan umat masa lampau), maka zakatnya 20 %. Berikutnya adalah pertanian yang diairi dengan air hujan yang baiayanya relatif ringan, zakatnya 10%, dan pertanian yang diairi dengan mengunakan angkutan atau pompa yang biayanya lebih besar zakatnya 5%. Emas, perak dan harta perniagaan yang beresiko tinggi dan biayanya cukup besar maka zakatnya 2,5% (Syarah Muslim, juz VII : 56).

Al-Syaukanie menjelaskan bahwa kedua hadits yang diangkat menjadi landasan hukum wajib zakat pertanian di atas sudah jelas menyangkut kadar zakat, yaitu 10% dan 5%. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana seandainya sebagian diairi dengan air hujan dan sebagian lagi dari pompa air? Menurut ahli hukum jika terjadi demikian zakatnya 7,5%. Ibnu Qudamah mengatakan bahwasanya saya tidak melihat ada ikhtilaf dalam masalah ini, namun apabila salah satu dari dua pengairan tersebut berlebih kurang, maka yang kurang harus diikutkan ke yang lebih. Demikian menurut Imam Ahmad, al-Tsauri, Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari al-Syafi’ie. Selanjutnya Al-Syaukanie mengomentar bahwa seyogyanya diperhitungkan secara cermat antara banyak dan sedikitnya tanaman yang diairi dari kedua sumber tersebut sehingga zakatnya dikeluarkan sesuai dengan proses pengairannya itu. Dan salah seorang ulama madzhab Malik bernama Ibnu al-Qasim menambahkan bahwa yang harus diperhatikan bukan banyak dan sedikitnya pengairan dari kedua sumber air tersebut, melainkan hal-hal yang dapat menentukan hasil produksinya, walaupun jumlahnya hanya sedikit (Nailul Authar, juz IV : 158).

Al-Nawawie menerangkan bahwa Imam Al-Syafi’ie dan para pendukung madzhabnya mewajibkan 10% terhadap tanaman yang diairi dengan air hujan atau dari saluran air yang berasal dari gunung atau dari sungai besar atau dari mata air yang besar (waduk) atau memperoleh rembesan langsung dari tanah seperti pepohonan dan tanaman keras, semuanya 10%. Adapun yang diairi dengan menggunakan alat angkutan atau pompa dan semacamnya maka zakatnya 5%. Ketentuan ini tidak ada khilaf diantara kaum muslim sebagaimana dikutip oleh Al-Baihaqie bahwasanya telah terjadi ijma’ dalam masalah ini. Akan tetapi saluran-saluran air dan selokan-selokan yang sengaja digalih untuk menghubungkan dengan sungai besar yang menelan biaya besar zakatnya tetap utuh 10%. Demikian pendapat yang sah yang masyhur dan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab ulama Iraq dan Kharasan dan Imam al-Haramain mengatakan adanya kesepakatan para ulama dalam masalah ini. Lebih lanjut para pendukung madzhab Syafi’ie memberikan alasan bahwa biaya penggalian saluran tersebut bertujuan untuk perbaikan areal atau perbaikan tanah, bukan perbaikan tanaman secara langsung, yang dapat digunakan untuk menyalurkan air terus menerus ke lahan tersebut. Berbeda dengan pengeluaran biaya untuk angkutan air atau pompa yang langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan produksinya. Imam al-Rafi’ie melansir dari Syaikh Abi ‘Ashim yang mengutip pendapat Syaikh Abi Sahl al-Sha’lukie dari pendukung madzhab Syafi’ie, ia telah memfatwakan bahwa tanaman yang mendapat pengairan dari saluran yang digalih tersebut zakatnya 5%. Pengarang Al-Tahdzib juga berpendapat bahwa apabila saluran atau sumber air yang digali dengan biaya besar itu memerlukan pengerukan setiap tahun zakatnya 5%, tetapi apabila biaya pengerukannya relatif kecil, tidak sama dengan biaya pengalian, maka zakatnya 10% (Kitab al-Majmu’, V : 444-445)

Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa para pakar hukum Islam (fuqaha) sepakat menetapkan zakat 10% terhadap hasil pertanian yang tidak mengeluarkan biaya besar atau pekerjaan yang memberatkan seperti tadah hujan atau mendapat pengairan yang mudah didapat. Dan mewajibkan 5% terhadap hasil pertanian yang diairi dengan biaya-biaya besar seperti dipompa atau diangkut dari tempat yang jauh dan semacamnya. Landasan hukumnya adalah hadits yang shoreh yang telah diriwayatkan oleh sejumla besar ahli hadits tersebut di atas (Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, II : 812-813)

G. Biaya Produksi yang Tinggi

Yusuf Qardlawie mempersoalkan bagaimana jika pengairan itu memerlukan alat besar yang tidak dapat dikerjakan dengan alat-alat biasa seperti pembuatan waduk dan saluran-saluran sekunder dan tertier. Dalam kitab Al-Mughnie disebutkan bahwa penggalian parit-parit dan pembuatan waduk-waduk itu tidak mengurangi besarnya zakat. Alasannya bahwa hal itu termasuk usaha perawatan tanah yang tidak dikerjakan pada setiap tahun. Al-Rafi’ie dalam Syarah al-Kabir berpendapat yang sama dan mengambil alasan bahwa pekerjaan tambahan membuat saluran-saluran itu termasuk kedalam usaha perbaikan tanah, bukan perbaikan tanaman. Oleh karena itu apabila airnya mengalir ke tanaman, maka zakatnya tetap 10%. Hal ini berbeda dengan apabila pengairannya dilakukan dengan menggunakan bantuan alat-alat penyiram dan sebagainya, maka zakatnya 5%. Al-Khaththabi memberikan rincian bahwa apabila selanjutnya tidak memerlukan biaya besar seperti pada penggalian pertama, maka zakatnya sama dengan tanaman yang diairi langsung dari sungai. Tetapi apabila memerlukan biaya besar seperti parit-parit selalu rusak dan distribusi air tidak sampai kepada tanaman sehingga memerlukan penggalian lagi, maka zakatnya sama dengan tanaman yang diairi dengan bantuan alat pengangkut dari sumur (Fiqh al-Zakat, I : 379-380).

Persoalan selanjutnya adalah menyangkut masalah biaya produksi yang cukup besar, mencapai jutaan rupiah, tetapi tidak meyentuh problem air. Tanah-tanah pesawahan atau perkebunan sekarang hampir seluruhnya tidak mungkin melakukan produksi tanpa biaya besar dalam pengolahannya. Baik di musim penghujan (rendeng) maupun di musim kemarau (ketiga) memerlukan biaya pengolahan dan biaya produksi yang cukup besar dalam upaya peningkatan hasil produksinya. Kebutuhan petani terhadap pupuk Urea, SP.36, Kcl, ZA dan obat-obatan sama dengan kebutuhan terhadap pengairan. Ditambah lagi biaya pengolahan yang semakin sulit, tenaga manusia sudah berkurang sedangkan tenaga mesin yang menggantikannya belum memadai. Demikian pula dalam mengetam, mesin-mesin potong dan perontok gabah belum siap sementara tenaga manusia sudah sulit dicari sehingga disamping harus mengeluarkan antara 18% sampai 20% (6 : 1 atau 5 : 1) sebagai upah memanen (catu / bawon) kadang- kadang harus memberi makan kepada tenaga yang mengetam tersebut (tukang derep). Dan di musim kemarau sering terjadi kekuarangan air, terutama di sekitar pesisir Cirebon dan Indramayu, sehingga untuk mendapatkan air harus mengeluarkan biaya cukup besar, baik untuk biaya pengurusan giliran yang dilakukan oleh kelompok tani maupun untuk biaya pemompaan dari sumber-sumber air yang masih tersedia. Dalam hal ini biaya perhektar mencapai ratusan ribu rupiah.

Menurut salah seorang kontak tani di Arjawinangun bahwa biaya pengolahan dan produksi pertanian perhektar di musim hujan tidak kurang dari Rp. 5.342.000,00 dan hasilnya lk. 6,2 ton gabah. Apabila rata-rata per-ton harganya Rp. 1.330.000,00 maka jumlah seluruhnya Rp. 8.246.000,00. Dengan asumsi ini hasil bersih sebelum dikeluarkan zakatnya adalah Rp. 2.904.000,00. Sedangkan biaya pengolahan dan produksi di musim kemarau, apabila airnya normal, tanpa usaha pemompaan lk. Rp. 4.881.000,00 dengan hasil yang akan diperoleh lk. 7 ton gabah kering simpan. Dan apabila harga gabah kering simpan (bukan kering giling) per-ton Rp. 1.200.000,00 maka hasilnya sebesar Rp. 8.400.000,00. Dengan demikian hasil bersih sebelum dikeluarkan zakatnya Rp. 3.519.000,00 (Sumber informasi : Penyuluh Pertanian).

Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa hasil produksi pertanian per-hektar per-musim hanya mencapai rata-rata 6,5 ton atau diuangkan dengan rata-rata perton Rp. 1.250.000,00 = Rp. 8.125.000,00 dikurangi biaya pengolahan dan produksi sebesar rata-rata Rp. 5.000.000,00 maka hasil bersih sebelum dikeluarkan zakatnya adalah senilai Rp. 3.125.000,00. Seandainya dikeluarkan zakatnya 10% maka cara menghitungnya : 6,5 ton ditambah 20% (catu / upah derep) dibagi 10 = 7,8 kwintal atau diuangkan sebesar Rp. 975.000,00. Maka hasil bersih setelah dikeluarkan zakatnya per musim = Rp. 3.125.000,00 - Rp. 975.000,00 = Rp. 2.150.000,00 atau per tahun 2 X 2.150.000,00 = Rp. 4.300.000,00. Selanjutnya apabila diperhitungkan penghasilan perbulan dengan lama produksi setiap musimnya 4 bulam, maka perbulan hanya menghasilkan lk. Rp. 537.500,00

Para ulama, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ketentuan zakat pertanian antara 5% sampai 10% memberi isyarat terhadap besar dan kecilnya cost yang dikeluarkan dalam mengolah lahan pertanian tersebut. Bahkan para ulama telah mempertimbangkan bagaimana seandainya biayanya tidak terlalu berat (tidak seluruhnya mengunakan alat angkutan air) dan tidak terlalu ringan (tidak seluruhnya diairi dengan air hujan atau selokan), menurut mereka zakatnya 7,5%. Ulama salaf belum mempertimbangkan selain kebutuhan air. Hal ini bisa dimaklumi karena air merupakan satu-satunya kebutuhan primer pertanian saat itu. Kalaupun para ulama yang datang kemudian telah menyebut-nyebut pupuk urea dan obat-obatan, tetapi waktu itu pupuk urea dan obat-obatan belum menjadi kebutuhan primer. Karena lahan pertanian masih subur, di musim kemarau tumbuh rumput yang subur yang berguna bagi binatang ternak. Di samping itu kotoran binatang jumlahnya cukup banyak sehingga dapat dijadikan kompos penyubur lahan dan tanaman. Sekarang lahan pertanian sudah mulai gersang, kompos alam dan kotoran binatang sudah tidak ada. Dengan demikian kebutuhan petani tehadap pupuk urea dan obat-obatan ama dengan kebutuhan mereka terhadap air. Oleh karena itu biaya pengolahan dan produksi pertanian yang semakin berat, sayoyanya dapat dipertimbangkan sebagai alasan untuk mengeluarkan zakat hanya 5%, tidak 10%

H. Tanah Pertanian yang Disewakan

Apabila pemilik tanah (malik al-ardl) menggarap sawahnya sendiri (al-sa’ie) maka inilah pekerjaan yang terpuji menurut syari’at dan mengeluarkan zakatnya 10% atau 5%. Timbul persoalan sekarang adalah pemilik sawah slalu menyewa-nyewakan tanah kepada orang lain dan orang-orang yang punya uang suka menyewa tanah yang cukup luas dengan tujuan untuk mengembangkan uangnya itu. Pihak yang menyewakan tanah dapat memperoleh hasil tanpa susah payah, sedangkan pihak yang menyewa menggarap tanahnya dengan penuh resiko. Bagaimanakah zakatnya itu.

Ulama salaf berbeda pendapat dalam menentukan apakah dibebankan kepada pemilik tanah yang memperoleh uang sewanya, atau kepada pengarap yang mengelola dan memproduksi hasilnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan riwayat dari Ibrahim al-Nakh’ie bahwa kewajiban mengeluarkan zakat 10% (atau 5%) dibebankan kepada pemilik tanah. Alasannya karena kewajiban membayar 10% (atau 5%) itu merupakan beban atas tanah, bukan atas tanaman. Tanah tersebut dapat menghasilkan produk atau uang ketika disewakan sebagaimana menghasilkan produk ketika ditanami sendiri. Maka yang prinsip di sini adalah hasil produksi yang dapat diperoleh, baik melalui proses sewaan atau digarap sendiri. Sementara menurut Jumhur, yang berkewajiban membayar 10% (atau 5%) itu pihak penyewa. Alasannya bahwa 10% (atau 5%) merupakan beban tanaman, bukan beban tanah, sedangkan pemiliknya tidak menabur benih dan tidak pula memetik hailnya, bagaimana mungkin membayar zakat pertanian padahal ia tidak memilikinya.

Yusuf Qardlawie memberikan komentar bahwa dalam Al-Mughni ternyata menguatkan pendapat jumhur yang mewajibkan zakat kepada pihak penyewa sehingga dia berkewajiban membayar uang sewanya dan sekaligus membayar zakatnya, sementara pihak pemilik tidak dibebani membayar zakat. Imam al-Rafi’ie dalam Syarah al-Kabir juga sama pendapatnya dan mengatakan : tidak ada perbedaan antara tanah milik dan tanah dapat menyewa dalam hal wajib zakat 10% (atau 5%). Penyewa membayar zakat dan uang sewanya seperti halnya seorang pedagang yang menyewa tempat untuk berdagang (toko), dia membayar uang sewa toko dan zakat dagangannya. Selanjutnya Qardlawie mengkritisi dan mengatakan bahwa pendapat ini tidak dapat diterima dengan alasan bahwa karena pedagang akan membayar zakatnya setelah mencapai haul dan setelah menghitung biaya-biaya yang telah dikeluarkan, termasuk uang sewa dan gajih pegawai dan lain-lainnya, sedangkan pertanian tidak demikian, dia harus membayar zakatnya pada setiap kali panen. Yang adil menurut Qardlawie adalah dikenakan wajib zakat pada keduanya karena keduanya telah sama-sama memperoleh hasilnya. Tidaklah benar apabila membebaskan sama sekali pihak penyewa dan membebankan keseluruhannya kepada pihak pemilik seperti ketentuan madzhab Abu Hanifah, atau membebaskan pihak pemilik sama sekali dan membebankan keseluruhannya kepada pihak penyewa seperti ketentuan Jumhur ulama, tetapi harus dibebankan kepada kedua-duanya. Ibnu Rusydi telah mengingatkan dengan pemikiran filsafatnya bahwa beban kewajiban yang menyangkut pertanian bukanlah beban atas tanah semata-mata dan bukan pula beban atas tanaman semata-mata, tetapi beban atas kedua-duanya. Ini berarti bahwa beban kewajiban itu ditanggung bersama antara pemilik dan penyewa.

Selanjutnya Qardlawie menjelaskan mengenai teknisnya dengan contoh-contoh di Mesir. Di sini seandainya pemilik tanah menyewakan tanahnya seluas 10 Ha dengan harga 2 juta permusim atau 4 juta pertahun dan penyewa memperoleh hasilnya 6,5 ton perhektar permusim atau 13 ton perhektar pertahun, maka pemilik mengeluarkan zakatnya 10% X Rp. 40.000.000,00 = Rp 4.000.000,00 sedangkan penyewa mengeluarkan zakatnya 10% X 65 ton ditambah 20% (catu / upah derep) dikurangi uang sewa Rp.40.000.000,00, jika harga gabah rata-rata Rp 1.250.000,00 perton, maka zakatnya = 10% X 78 ton – 30 ton = 4,8 ton atau uang senilai Rp. 6.000.000,00 (Fiqh al-Zakat, I : 398-403; dan Fiqh al-Islam wa Adillatuh, II :819-820)

Pengembangan illat hukum selanjutnya dapat dilihat dari praktek-praktek di lapangan, bahwa pemilik tanah, terutama yang mencapai puluhan hektar menyewakan tanahnya pada setiap tahun dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dengan resiko yang relatif kecil, seperti halnya memiliki infestasi berupa hotel atau tempat-tempat penginepan yang sengaja dibangun untuk disewakan. Demikian pula orang-orang yang menyewa tanah dalam jumlah yang besar, ditanami padi, jagung, tebu, tembakau, bawang, dan palawija tujuannya untuk mengembangkan usaha melalui sektor-sektor yang dianggap akan menguntungkan. Dengan demikian pola usaha yang mereka akkan bukanlah pola petani, tetapi pola pengusaha. Dalam prakteknya telah banyak orang yang membeli sawah berpuluh-puluh hektar dengan tujuan untuk disewa-sewakan itu. Dengan demikian mereka dikenakan wajib zakat usaha, bukan zakat pertanian, dengan menghitung haul dan masing-masing hanya mengeluarkan 2,5%-nya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More