Minggu, 24 Juli 2011

Kehidupan Seorang Geisha


PERTAMA DAN SATU-SATUNYA DI INTERNET

Kehidupan Seorang Geisha

Sebuah terjemahan bebas atas sebuah tulisan tentang Geisha berjudul “The Life of a Geisha” yang ditulis oleh Eleanor Underwood, dengan pengantar dari Liza Dalby, dan diterjemahkan oleh deltapapa untuk tujuan penulisan skripsi.
Jika ada yang kurang tepat atau keberatan atas posting ini blog saya mohon maaf dan sekaligus minta ijin untuk mempost di sini. Saya hanya bermaksud membantu para mahasiswa atau siapa saja yang mencari referensi tentang geisha yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Lumayanlah bisa dapat terjemahan gratis karena buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Inggris.

Pada awalnya saya tidak mengerti sedikitpun tentang geisha kecuali seperti apa yang digambarkan dalam film “Memoirs of a Geisha”. Namun karena ada seorang kawan yang meminta bantuan untuk menterjemahkan buku untuk bahan penulisan skripsi maka jadilah Saya membaca buku itu. Hitung-hitung menambah wawasan dan menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia secara “asal-asalan”. Sekali lagi Saya tidak bermaksud plagiat atau melanggar hak cipta apapun/siapapun di sini, kecuali hanya keinginan tulus untuk membantu. Karenanya jika ada kesalahan atau substansi yang keliru dalam terjemahan ini, mohon dikoreksi.
Tulisan ini boleh disebarluaskan kemana saja dan bagi siapa saja secara gratis namun tidak untuk tujuan komersial (non commercial purposes) dan mohon kesediaanya untuk mencantumkan sumber penterjemahnya. Bukan apa-apa hanya sedikit promosi, siapa tahu ada yang meminta saya untuk menterjemahkan tulisan, buku, artikel atau apapun dari bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

PENGANTAR

Saya berumur 25 tahun ketika ”kakak perempuan” Saya Ichiume mengusapkan make up putih dinging seorang Geisha pada wajah saya. Dia berumur 21 tahun. Dalam dunia Geisha di Kyoto dia adalah senior Saya dan dia telah lulus menjadi seorang maiko dari geiko pada tahun sebelumnya. Saya, tentu saja, belum pernah menjadi seorang maiko. Ichiume mendapat tugas untuk menjelaskan tentang perspektif dalam dari seorang geiko (dialek khas Kyoto untuk geisha) di balik sejarahnya, statistiknya dan interview-interview yang telah dikumpulkan, kepada para lulusan Amerika. Beberapa pelanggan terkejut ketika sake mereka dituangkan oleh seorang geisha Amerika; dan sebagain bahkan tidak tahu sampai geisha yang lain mulai tersenyum-senyum.

Tidak ada rahasia di balik perubahan Saya menjadi adik Ichiume yang bernama Ichigiku dari Pontocho – Saya mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang profesi geisha untuk menulis thesis Ph.D saya dalam bidang antropologi budaya. Saran kepada saya untuk mengenakan kimono dan samishen ke Kedai-kedai teh (teahouses) datang dari para geisha itu sendiri. Sesudah saya melihat mereka dan sebaliknya mereka melihat saya, mereka berfikir bahwa Saya mungkin dapat menceritakan cerita tentang geisha dari sisi mereka – geisha merasa yakin bahwa mereka difahami secara keliru di dunia Barat.

Kata “geisha” dalam imaginasi di dunia Barat konotasikan secara keliru yaitu sebagai mitologi makhluk eksotis. Salah konsepsi tentang fantasi, pemikiran yang penuh harap, dan polos merupakan perlakuan atas fakta-fakta yang ada sehingga dalam bahasa Inggris untuk mengatakan kata ”geisha” mengarah pada anggapan pada seorang wanita cantik yang patuh pada majikannya dan memenuhi semua nafsu dan keinginan majikannya. Kepribadiannya tidak diperlukan oleh para majikan dan geisha wajib melebur seperti halnya Madam Butterfly dari pada mengganggu para majikan. Fantasi seperti ini sulit ditemui pada wanita nyata namun mudah didapatkan di mitos.

Geisha mempunyai perbedaan pada kedua sisi tersebut, antara legenda dan kenyataan, dan buku ini membantu mengklarifikasi perbedaan-perbedaan itu. Mitos secara alami, adalah sejarah dan individual transendental monolitik dimana realitas merupakan variasi komunitas geisha di daerah-daerah berbeda di Jepang, status hirarkinya dalam masyarakat dan tentu saja perbedaan-perbedaan secara individual di antara para geisha itu sendiri.

Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan geisha tidak eksotis. Wanita-wanita ini bahkan lebih misterius daripada yang mereka bayangkan sendiri – di Jepang dan di luar Jepang, walaupun untuk alasan yang berbeda. Orang-orang Barat beranggapan bahwa geisha pastilah ahli dalam hal kepatuhan di negara seperti Jepang di mana wanita-wanita biasa harus mengedepankan urusan pria. Kami beranggapan bahwa seni menyenangkan pria bahkan berarti lebih rendah. Saya sendiri menerima mitos ini sebelum Saya mempelajari lebih baik sebagai Ichigiku. Saya terkejut bahwa unsur saling memberi dan menerima antara geisha dan tamunya di teahouses di Kyoto cukup nyaman bagi seorang geisha Amerika. Seseorang tidak boleh bingung antara budaya umum kesopansantunan kepatuhan yang cenderung berlebian di Jepang. Yang saya tahu Geisha adalah hal yang paling blak-blakan tentang wanita Jepang. Tentu saja secara sosial bereka sangat trampil – seperti seorang hostress yang baik di Amerika, mereka tidak mengatakan ha-hal yang mungkin bisa membuat malu tamunya. Namun bagi saya menjadi lebih jelas bahwa para pria Jepang tidak menganggap istri seorang geisha karena mereka ketagihan akan kepatuhan yang berlebihan. Mereka kecanduan terhadap pembicaraan yang menarik dan kepribadian yang ceria.

Kami tidak mempunyai institusi yang bisa dibandingkan dengan geisha di kehidupan Barat modern. Geisha tidak menikah, tapi mereka sering punya anak. Mereka hidup dalam komunitas wanita yang terorganisir secara profesional. Mereka mempunya affair dengan pria yang sudah menikah, dan dapat memberikan layanan lain atas kebijakan mereka sendiri. Hidup mereka berasal dari menyanyi, menari dan berbicara dengan para pria di tempat-tempat perjamuan. Mereka mengabdikan waktu mereka untuk belajar dan menunjukkan tari dan musik tradisional. Dan mereka selalu mengenakan kimono, namun tidak selalu kostum formal. Kemudian dengan cara yang berbeda geisha mungkin menjadi seperti isteri simpanan, pelayan, hostess dan penari. Jika dia tidak mengenakan atribut lengkap, apakah Anda tahu bahwa dia adalah seorang geisha? Jika Anda tahu apa yang harus dilihat dari seorang geisha maka anda akan bilang, ya.

Sebagai wanita Jepang, fakta sosial yang sangat penting adalah bahwa gesiha bukanlah istri. Istri selalu mengawasi lingkungan rumah dan anak-anak, sedangkan profesi gesiha secara eklusif terpisah dalam ruang yang berbeda antara untuk kepentingan rumah dan untuk kepentingan bisnis. Ini adalah wilayah dimana para pria bersosialisasi dan geisha hanyalah wanita yang berfungsi melayani hal ini dan hanya dinomori dari 1000 sampai 1 oleh pelayan bar di kehidupan Jepang modern. Hal-hal tersebutlah yang membedakan antara geisha dan istri. Yang memisahkan gesiha dengan wanita lain adalah pengabdianya pada dunia seni tradisional Jepang.

Dunia geisha telah mengalami banyak perubahan. Sampai pada tahun 1920-an, saat geisha menjadi ketinggalan jaman dibanding gadis kafe, gadis-gadis penari hall, gesiha menjadi barisan terdepan dalam bidang hiburan. Namun dalam wajah modernisasi dan westernisasi, gesiha membalikkan profesi mereka ke arah yang berlawanan dan mentrasformasikan diri mereka dari inovator fashion menjadi kurator budaya. Mereka meninggalkan pakaian ala barat sebagai bar hostess dan menggantinya dengan kimono sebagai seragam mereka. Dengan cara ini mereka menemukan kedudukanya di antara kehidupan Jepang modern. Pengalaman seperti ini tidak didapati pada karakter Sayuri dalam novel Arthur Golden yang berjudul Memoirs of a Gesiha. Namun demikian para geisha yang lebih tua sering masih menceritakan cerita tentang kisah masa muda mereka bersama dengan disiplin tinggi yangg harus mereka tanggung atas tarian mereka dan guru samisen mereka.

”Kamu tidak bisa melakukanya hari ini,” kata ibu geisha saya, ” maiko akan berhenti.” Arthur Golden mendapatkan imaginasi yang patut dicatat saat dia menempatkan dirinya di dalam pikiran geisha dan menciptakan kepribadian memaksa melalui kejadian-kejadian yang dibentangkanya dalam kehidupan yang lebih luas dari pada kehidupan saga. Namun demikian dalam hal ini, Cerita tentang Sayuri masih menyuarakan kebenaran karena geisha masih ada, dan nyatanya, lebih luas daripada kehidupan.
PENDAHULUAN

Seorang geisha adalah seorang gadis yang sangat lembut dalam segala hal; kostumnya penuh dekorasi seni; kelihatannya sederhana dan lucu; prilakunya tenang, bersinar dan wangi; gerakanya gemulai dan tidak terburu-buru terlihat manis secara musikal; percakapanya merupakan gabungan yang tajam antara unsur feminisme dan jawaban-jawaban tepat; cahayanya tidak ada habisnya; kesederhanannya menjadi contoh; kepuasannya tidak terukur. – Captain Frank Brinkley.

Geisha, bersamaan dengan Puncak Fuji dan bunga cherry, telah menjadi simbol Jepang sejak Jepang terbuka pada dunia Barat tahun 1850-an. Siapakah Geisha? Kita sering mendengar bahwa geisha yang sebenarnya bukanlah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Geisha berarti ”orang seni” namun yang mempunyai ketrampilan sebagai entertainer. Secara tradisional pemunculannya sangat dikaitkan dengan erotisme, namun seksualitas geisha tidak secara langsung dijual dan sangat sulit untuk didapatkan. Sebenarnya, jawaban atas pertanyaan ”Siapa Gesiha” berbeda secara geografis dan historis.

Daya tarik Barat atas geisha dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Opera Madame Butterfly tahun 1906 oleh Puccini, meskipun sebenarnya bukanlah tentang geisha, namun mungkin menciptakan stereotipe tentang kecantikan ketimuran yang lemah sebagaimana dimaksudkan oleh orang-orang Barat. Sesudah era Perang Dunia II membawa wajah baru bagi Jepang, Shierly MacLain memerankan seorang geisha dalam film My Geisha tahun 1962. Bahkan seorang Madonna pernah mengenakan pakaian geisha post-modern.

Orang Jepang sendiri telah menjalankan peranya dalam mempromosikan geisha sebagai simbul Jepang kepada dunia luas. Geisha sendiri telah mendokasi pakaianya untuk mengenalkan Jepang sejak poster traveller Jepang pertama kali dicetak. Poster tari geisha pertama kali telah dicetak secara spektakular dalam bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Saat ini, banyak orang Jepang sendiri yang setuju bahwa geisha mewakili unsur feminisme selain fakta bahwa sangat sedikit orang Jepang sendiri yang berhubungan dengan geisha karena perjamuan gesiha sangat mahal.

Fiksi Arthur Golden, Memoirs of a Geisha, berada dibalik hal-hal ini dan stereotip tentang geisha yang lain, yang secara brilian telah mencerminkan geisha abad ke 20. Buku ini menceritakan cerita tentang seorang gadis yang bernama Chiyo yang menjadi gesiha terkenal bernama Sayuri di daerah geisha kelas tinggi di Gion, Kyoto. Diceritakan kepada kita kehidupan Chiyo sebagai gadis desa yang miskin pada tahun 1920-an sampai akhirnya menjadi simpanan orang kaya. Dalam banyak detail dan keanekaragamanan buku Golden jelas menggambarkan sub budaya Jepang yang kurang dikenal luas sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Gambaran Sayuri sebagai seorang survival: dari awal masa kerasnya, persaingan saat remaja hingga akhir yang bahagia. Dengan film dari Ukiyo, photografi, puisi, lagu geisha dan tulisan-tulisan, kehidupan seorang gesiha di eksplorasi dan dikembangkan dalam dunia geisha yang mempunyai banyak intrik.

PENGHIBUR YANG MEMIKAT PADA JAMAN DULU

Nama Geisha menempati waktu singkat dalam sejarah jepang yang panjang. Geisha seperti yang dikenal muncul beberapa ratus tahun yang lalu. Namun demikian wanita ”bertipe” geisha – wanita yang menghibur dan kemudian menawarkan tubuhnya kepada pria – kembali pada masa awal di Jepang. Tergantung pada tingkat seninya, sensitifitasnya dan kepandaianya, wanita-wanita ini, yang kemudian hari menjadi seperti geisha, bisa menjadi terkenal dan bahkan berkuasa.

Pendahulu geisha ditemukan di antara saburuko (seorang yang melayani) yang muncul pada akhir abad ke 7. Wanita-wanita ini, yang dipaksa berkelana sebagai akibat dari penempatan sosial yang keliru, memperdagangkan seksualitas mereka agar dapat survive. Di antara mereka terdapat penari-penari dan penyanyi berbakat yang diundang untuk acara kumpul-kumpul para aristokrat. Keterangan tentang wanita-wanta ini disebutkan dalam puisi-puisi kuno Jepang.

Dari abad 12 sampai abad 14 muncul kelompok PSK baru yang disebut shirabyoshi. Mereka merupakan penyanyi dan penari trampil yang mengenakan pakaian model Shinto dan memainkan drum dan seruling. Sering kali mereka berasal dari keluarga aristokrat yang jatuh dan mereka merupakan hasil dari kehebohan sosial. Nama dari beberapa wanita ini telah menjadi legenda. Yang paling terkenal adalah Shizuka, yang menjadi teman prajurit Jepang yang paling dicintai rakyat yang bernama Yoshitsune. Yang lain lagi adalah Kemegiku yang menjadi selir Kaisar Gotoba. Beberapa legenda, hymne dan balada kuno dan tradisi mereka kemudian diambil oleh teater Noh.

HIDUP PADA TEMPAT HIBURAN


Saburuko dan shirabyosi merupakan pendahulu geisha, mereka adalah entertainer wanita yang bebas tubuhnya. Namun gesiha tidak mungkin timbul tanpa budaya yang kemudian disebut yujo (pelacur), bunga rumah panas yang tinggal di yukaku, namun hidup dalam kesenangan.

Istilah ”tempat hiburan” sungguh ironis dalam beberapa hal. Sekitar tahun 1600 tempat-tempat tersebut sebenarnya dibentuk sepeti ”penjara”. Tempat-tempat itu dibangun pasa saat regim Tokugawa yang baru (nama sesudah shogun, atau pemerintahan militer) berusaha untuk melokalisir kebutuhan, prostitusi dan hiburan dari jalanan dan menempatkan mereka pada tempat khusus. Dalam sejarah tempat hiburan banyak gadis-gadis miskin yang dijual oleh keluarganya yang kurang mampu untuk menjadi pelayan di sana, dan mereka tidak bisa meninggalkan tempat tersebut sampai hutang-hutangnya terbayar lunas.

Pertengan tahun 1800-an, tempat seperti ini muncul di tiga kota besar di Jepang: Yoshiwara di Edo (sekarang Tokyo), Shimmachi di Osaka, dan Shimbara di Kyoto. Tempat huburan mewah dipenuhi oleh orang-orang kaya, sebuah kelas sosial yang saat itu sedang tumbuh. Tempat-tempat hiburan dipenuhi dengan hal-hal artistik dan lisensi seksual dimana orang-orang bisa terlepas dari tekanan regim militer pada saat itu. Tempat hiburan teahouses, dimana yujo menghibur seperti salon yang penuh dengan artis, penulis, aktor dan pegulat, juga dipenuhi oleh para lelaki perkotaan.

Budaya tempat hiburan dilapisi oleh referensi klasik. Para pelacur dan orang-orang penting yang ditemaninya dicari-cari untuk menandingi era sebelumnya yaitu era Heian, era keemasan aristokrat dari abad ke-9 sampai abad ke-12 saat kesedihan dan keindahan alam dilukiskan dalam puisi dan sebagian besar diantaranya ditulis oleh para wanita. Para pelacur-dan para artis yang melukiskanya-membuat referensi pada novel romantis The Tale of Genji, yang ditulis oleh Lady Murasaki Shikibu pada abad ke-11 dan dianggap sebagai novel terbesar di dunia. Para pelacur di tempat hiburan menjadi mahir dalam hampir semua hal termasuk kaligrafi, puisi, merangkai bunga, upacara teh, menari dan musik.

Beberapa pelacur kelas tinggi mendapatkan kedudukan yang tinggi yang disebut tayu atau oiran dan diperlakukan seperti keluarga kerajaan yang dibantu oleh shinzo, kamuro dan pelayan-pelayan lain.
Prilaku yang beradab tidak hanya diharapkan muncul dari para pelacur saja. ”Perusahaan” lebih menyukai pelacur kelas tinggi dimana hanya sedikit orang yang mampu mendapatkanya, dan harus mempunyai prilaku terbaik dan tentu saja mendapatkan uang. Barang siapa yang ingin berada di dunia hiburan memerlukan panduan untuk mempermudah jalan mereka dan mengajari mereka tentang prilaku yang benar.

Hanya sedikit penduduk yang mempunyai keleluasaan, sumber atau posisi sosial untuk bisa memasuki tempat hiburan tersebut. Bagi mereka yang tidak mempunyai akses ke sana dapat mengetahui kehidupan ini melalui literatur yang ada.

ERA KEEMASAN GEISHA


Kata geisha secara harfiah berarti ”orang seni” yaitu mereka yang mengabdikan dirinya pada ketrampilan menghibur. Awalnya mereka semua adalah pria. Pada permulaan adanya rumah hiburan, mereka berpenampilan sedemikian rupa sehingga para pelacur kelas tinggi dianggap berada di bawahnya, sebagai penari, pelawak, penabuh drum dan pemain shamisen. Geisha dianggap semata-mata hanya pelengkap orang yang menemani orang penting dalam lingkaran kehidupan pelacur oiran.

Ketika geisha wanita mulai muncul sekitar tahun 1750, mereka diarahkan sebagai onna geisha (geisha wanita). Ada kekhawatiran bahwa para geisha ini akan bersaing dengan para yujo bagi para pelanggan dan karenanya ada banyak larangan pada prilaku mereka. Geisha wanita pertama dari Yoshiwara bernama Kasen. Dia keluar dari profesi sebagai penghibur (entertainer) murni setelah lunas membayar semua hutangnya. Namun karena pengaruh waktu para wanita itu kemudian menggantikan gesiha pria dan sekitar tahun 1800 semua geisha adalah wanita.

Geisha awalnya diperbolehkan untuk bebas ke tempat-tempat hiburan. Belakangan mereka diatur menjadi seperti yujo; mereka harus mendaftar, dan tidak diperbolehkan meninggalkan tempat tanpa ijin khusus. Di tempat-tempat tersebut, geisha yang kurang atraktif yang diperlakukan lebih rendah dari yujo justru lebih disukai.

Namun demikian, geisha yang tidak mempunyai ketrampilan menghibur mulai menghuni tempat-tempat hiburan yang tidak resmi. Para geisha ini atas keinginan mereka menjadi pelacur jenis baru yang disebut sebagai iki. Yujo, pelacur kelas tinggi di tempat-tempat hiburan tersebut sangat kontras dibandingkan geisha karena geisha terlalu berprilaku normal, ketinggalan jaman, menggunakan ornamen yang berlebihan dan dikutuk karena kepura-puraannya. Kadang-kadang Yujo kehilangan seluruh keinginan seksualnya dan geishalah yang menggantikannya, merefleksikan kekuatan baru abad ke-19 saat Jepang memasuki masa modern.

Abad ke-19 saat kehidupan geisha mencapai masa puncak adalah saatnya gejolak politis. Jepang sudah matang untuk perubahan politik saat Admiral Perry dari Amerika dan pasukan marinirnya berhasil membuka gerbang pelabuhan Jepang pada tahun 1853. Restorasi kekaisaran mulai sungguh-sungguh dilaksanakan; yang mengakibatkan peperangan terhadap regim Tokugawa yang telah memerintah selama lebih dari 250 tahun. Bangsa Jepang yang baru mulai dengan modernisasi, industrialisasi dan bahkan penjajahan.

Geisha tidak hanya memimpin dalam hal fashion tetapi juga semangat revolusi yang heroik. Mereka terlibat dalam intrik-intrik pemberontakan politik yang di kemudian hari menjadi pendiri bangsa baru. Berulangkali terjadi bahwa cara seperti itu dipakai untuk menjatuhkan pejabat pemerintahan. Pada masa Edo banyak pejabat pemerintahan yang “terjatuh” di kedai-kedai teh kota Gion di Kyoto. Beberapa pahlawan nasional bangsa Jepang yang baru menikah dengan geisha simpanan mereka dan membawa mereka ke ibukota yang baru yaitu Tokyo (dulunya bernama Edo) untuk menjadi istrinya. Mungkin fakta bahwa mantan geisha berada dalam lingkaran pemerintahan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat. Mengubah hukum menjadikan status Yujo dan pelacur menjadi rendah, yang hanya trampil dalam seni bercinta dan geisha yang trampil dalam bidang musik dan tari.

Dari mulai pertama kali mereka terkenal, geisha sudah lama menjadi obyek ukiyo-e, cetakan balok kayu yang melukiskan ”dunia yang mengambang”. Sekarang, dalam era komersial yang terus berkembang, geisha sering dilukiskan pada kartu pos dan iklan. Mereka menjadi simbol atau lambang Jepang modern, menyajikan warna-warna lokal, parade tarian, dan muncul dalam poster-poster wisata untuk menarik wisatawan domestik dan wisatawan asing. Wilayah geisha yang disebut hanamachi mulai mensponsori tarian tahunan atau semi tahunan untuk menarik masyarakat umum. Geisha dalam masa seratus tahun lebih sedikit telah hilang dan tidak menjadi trendsetter dan ikon.

DEKADENSI SEBELUM PERANG

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, tahun yang sama dimana karakter Sayuri kreasi Arthur Golden atas keinginanya sendiri menjadi geisha, modernitas Jepang telah berubah menjadi ala Barat, dan iki dari geisha telah kehilangan daya tariknya. Jumlah geisha lebih banyak dari sebelumnya namun para wanita ”modern” kini menjadi garda depan yang dideskripsikan sebagai modan.

Dekade sebelum Perang Dunia II adalah masa dekadensi (kemerosotan). Dengan pengaruh Hollywood, majalah, acara radio, musik pop dan jazz, para pemuda menjadi mobo dan pemudi menjadi moga, kependekan dari modern boy dan modern girl. Mereka menari jitterbug, bermain tennis dan minum bir dan wiski. Para pemudi menganggap kimono elegan namun terlalu repot untuk dikenakan. Mereka memotong rambut panjangnya menjadi model bob agar tidak ketinggalan jaman. Peluang kerja untuk para wanita muda meningkat-seorang wanita muda sekarang bisa menjadi sales toko, pekerja kantoran, gadis penjaga elevator, atau kalau mereka sedikit giat mereka bisa menjadi saingan geisha yang baru yaitu menjadi seorang jokyu atau gadis kafe. Seperti halnya dengan geisha beberapa jokyu menjadi selebriti.

Eksperimen ini tidaklah berlangsung dalam jangka pendek. Semangat patriotisme yang baru seiring meningkatnya patriotisme militer pada tahun 1930-an mengharuskan mereka kembali pada tradisi. Ini berarti gesiha muncul kembali.

PERUBAHAN PADA MASA PERANG


Bersamaan dengan tumbuhnya agresi Jepang ke negara-negara Asia pada tahun 1930-an, apa yang terjadi di Jepang adalah rasa anti Barat. Tradisi ketimuran adalah tradisi yang paling ideal dan tradisi Jepang merupakan kebangkitan yang pertama.

Pemererintah Jepang menyalahkan “dekadensi” yang terjadi pada dekade sebelumnya yang terpengaruh kehidupan dan budaya Barat dan pemerintah mulai aktif mengendalikan hal tersebut. Film-film Amerika dilarang dan bahasa Inggris dilarang diajarkan di sekolah-sekolah. Fashion dikontrol. Para wanita tidak diperbolehkan mengenakan rambut palsu. Pada tahun 1940-an para wanita disarankan untuk mengenakan mompe, atau celana petani dari pada mengenakan rok.

Di tengah masa suram ini, masa represif, geisha diapresiasi sebagai lambang tradisional Jepang. Dalam proses tersebut perdebatan tentang apakah geisha harus mengikuti modernisasi dan menjadi lebih kebarat-baratan tidak terdengar lagi. Mulai dari saat itu geisha menjadi penyelamat atas tradisi lama. Selama tahun-tahun peperangan, para pejabat militer mengganti para industrialis terkemuka sebagai pelindung geisha. Geisha menjadi pemimpin dalam hal patriotisme karena mereka menghibur pada pesta-pesta militer dan menemui para pejabat pada saat tidak bertempur. Dalam Memoir of a Geisha, hubungan Sayuri dengan Jendral Tottori Junnosuke merupakan tipikal khas waktu itu. Tipe “insider status” maksudnya adalah jika pada saat masyarakat umum sulit untuk mendapatkan makanan pokok dan pasokan, geisha biasanya bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan.

Hal itu terjadi sampai pada akhir perang pada tahun 1944 dimana semua kedai teh dan geisha ditutup. Para geisha kemudian bergabung kepada warga non-militer yang kemudian bekerja di pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan perang. Banyak gesiha, seperti halnya Sayuri, menggunakan koneksinya agar mudah mendapatkan pekerjaan.

Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus tahun 1945, pemerintah membuka semua hal yang ditutup pada tahun 1944. Organisasi dan kepemilikan baru dibentuk yang disebut Recreation and Amusement Association (Asosiasi Rekreasi dan Hiburan) untuk merekrut para wanita. Walaupun mereka memerlukan sedikitnya 5000 wanita, hanya 1360 yang menanggapi iklan tersebut.

Pada bulan Januari tahun 1946 kantor pusat Jendral MacArthur memerintahkan penghapusan legalisasi prostitusi. Hasilnya adalah munculnya “zona garis merah” dimana orang Amerika dilarang masuk namun orang Jepang diperbolehkan untuk memasuki dunia prostitusi freelance. Akhirnya pada tanggal 12 Mei 1956 semua pelacuran di Jepang dianggap ilegal. Praktis para geisha mengencangkan obis mereka, menyesuaikan diri dengan masa dan kebijakan baru, membentuk sosiasi baru dan tetap bertahan.

KEHIDUPAN SEORANG GEISHA


Seorang geisha tidak dapat bertahan tanpa memelihara jaringan yang kuat diantara anggota komunitasnya. Apakah hubungan ini merupakan hubungan positif atau negatif, mereka tetap mendukung geisha secara pribadi. Penggunaan nama geisha yang terkenal adalah hal penting bagi mereka untuk menunjukkan jenis dukungan keluarga yang diperlukan. Keberhasilan seorang geisha seperti karakter Sayuri bukan hanya karena kecantikannya atau bakatnya tetapi juga karena dukungan “kakaknya” yang bernama Mameha.
Dalam pelatihan karirnya, ada ritual-ritual tertentu yang lazim diajarkan kepada geisha pada masa sebelum perang. Geisha mewarisi pelatihan kehidupan ini dari yujo, yaitu pelacur sebelum mereka.
Seorang geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh seseorangg yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan geisha. Seorang shikomi harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. Jika gadis itu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai kira-kira pada usia 7 tahun. Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga menyelesaikan tugas-tugasnya.

Sebagai seorang remaja, jika sudah siap, dia menjadi magang geisha, yang di Kyoto disebut maiko dan di Tokyo disebut oshaku. Dia didandani dengan kimono terang dengan lengan panjang. Dia mulai mengenakan rambut model “belah-persik” dimana rambut di gulungan rambutnya membentuk segitiga kecil. Agar bisa menjadi seorang pemagang, dia harus mempunyai seorang onesan (kakak perempuan) yang bersedia mengajaknya pada tugas-tugasnya sehingga dia bisa belajar melalui minarai (observasi). Seorang geisha dan pemagang kemudian pergi ke upacara persaudaraan yang menyerupai pernikahan, saling menukar tiga teguk sake. Hal ini disebut san san kudo.

Seorang geisha akan menjadi milik seseorang yang menjadi penawar tertinggi mizuage-nya, kehilangan virginitasnya dan menjadi wanita sepenuhnya. Sebuah upacara meneguk sake akan dilaksanakan kembali. Sebagai tanda atas perubahan yang signifikan ini sebuah tanda merah akan ditempatkan di rambutnya. Seperti halnya perubahan untuk pakaian wanita yang terjadi setelah perkawinan orang Jepang, hal ini menjadikan perubahan seorang geisha sebagai bukti untuk dilihat semua orang.

Ketika seorang geisha mencapai status penuh, dia akan eriakae o suru (mengganti tanda di lehernya). Ini berarti bahwa dia akan mengganti bagian warna putih di komino bagian bawahnya dengan sebagian warna merah di bawah pakaiannya. Dia mengenakanya dengan cara ini ketika dia diperkenalkan. Pada titik ini dia mengganti kimononya dengan model yang lebih sederhana model lengan pendek untuk wanita dewasa.
Mendapatkan status penuh sebagai seorang geisha hampir selalu terlibat penuh dengan majikannya atau danna. Dia akan memberikan dukungan finansial, bahkan kadang-kadang cukup untuk membuat sebuah rumah.

Hal yang paling menentukan dalam karir seorang geisha adalah keputusanya untuk menikah. Mereka mungkin juga meninggalkan hanamachi dan menjadi istri simpanan sepenuhnya. Namun demikian banyak geisha yang tetap tinggal di tempat hiburan dan menjadi okasan dan mengatur rumah geishanya sendiri. Banyak geisha yang sesudah pernikahanya gagal atau hancur kembali pada kehidupan sebelumnya yang dirasa paling nyaman.

DAYA TARIK SEORANG GEISHA


Kata “menarik” dapat berbeda tergantung pada budaya dan masanya. Memang seorang pengunjung Amerika cukup beruntung dapat mengunjungi sebuah pesta di Dion daerah Kyoto dimana geisha mungkin menjadi mengecewakan. Hal yang mereka catat adalah bahwa geisha terlalu dibuat-buat. Bedak putih di wajahnya terlalu tebal, senyumnya tidak menarik dan gerakanya aneh. Nyanyian mereka tampak aneh dan musik samishennya tanpa melodi. Tariannya, yang sangat berbeda dengan irama di dunia barat bisa terlihat tidak bagus. Berbeda jauh dengan masa pada saat geisha muncul, banyak generasi muda Jepang yang juga tidak memberikan apresiasi kepada geisha. Mereka mungkin sudah biasa dengan gerakan dan melodi dari geisha, namun mungkin mereka berfikir bahwa itu semua terlalu ketinggalan jaman. Namun bagi orang asing yang open mind dan bagi orang Jepang yang bercitarasa masa lalu atmosfir pesta geisha yang mengkombinasikan warna, harmoni, suara dan gerakan dengan iteligensi dan humor tidaklah demikian. Sensibilitasnya menunjukkan intimasi sosial.

Daya tarik geisha menyeimbangkan antara ketulusan kasih sayang dan kesenian. Hal ini terjadi tanpa menafikan bahwa geisha harus mempunyai sensualitas tertentu. Kata untuk ini dalam bahasa jepang adalah iroke, atau secara harfiah berarti “semangat warna”. Ini bukan semata-mata daya tarik seksual, tapi rasa seni yang diciptakan dalam berpakaian dan bahasa tubuh. Ini dapat dilihat dengan sangat jelas dalam percakapan yang saling memberi dan menerima.

Sekitar tahun 1800 ketika geisha tampil ke depan, mereka menunjukan model yang berani. Geisha menjadi personifikasi dari iki, sebuah kata yang masih digunakan hingga saat ini untuk menggambarkan sikap dingin. Secara kasual ini memang elegan, kekuatan pemahaman tentang bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Seratus limapuluh tahun lalu seorang geisha mengenakan make up terang, komono dengan warna yang kental dan pola-pola sederhana, dengan obi tergantung di punggung. Penampilan geisha yang sederhana adalah bagian dari peraturan yang ditujukan agar geisha tidak menyaingi yujo, tapi malah salah kaprah. Penampilan geisha sangat berlawanan dengan yujo membuat yujo tampak ketinggalan jaman. Geisha hanya mempunyai beberapa pin di rambut, sedangkan yujo tampak seperti dikerubuti serangga. Seorang yujo yang ditandai dengan warna perak dan emas dengan naga menghadap ke atas atau ditaruh dimana saja menjadi terlalu membatasi dengan geisha. Geisha menggantikan yujo dengan mepersonifikasikan semangat perubahan revolusioner pada saat itu.
Iki dilahirkan dari iklan. Iki berasalah dari keberanian khusus yang dimiliki geisha untuk seni. Misalnya sebagai tanda kekuatan karakter geisha tidak pernah mengenakan kaos kaki tabi. Cetakan-cetakan Ukiyo-e sering menunjukkan ibu jari seorang geisha tampak lebih sebagai iki saat ibu geisha berjalan di atas salju. Geisha bisa juga tampak menampakkan maskulinitas. Beberapa daerah di Edo (sekarang Tokyo) merupakan daerah munculnya iki. Di Fukugawa wilayah Edo, geisha memulai fashion dengan mengenakan pakaian dalam haori, aslinya adalah jaket pria yang menonjolkan sensualitas yang lambat laut diikuti oleh semua wanita yang mengenakan kimono.

Sekarang ini geisha bukan lagi sebagai trendsetter model. Mereka adalah penegak tradisi, mengenakan kimono setiap hari seperti yang dilakukan oleh hanya sedikit wanita Jepang. Pada kesempatan-kesempatan resmi, mereka tampak seperti yujo yang sudah punah: mengenakan make up tebal dan berat dan mengenakan kimono penuh ornamen. Namun geisha masih menjadi model jika berada dalam tempat-tempat yang lebih kecil. Berpakaian adalah bagian dari seni mereka. Hal ini membuktikan bahwa dalam pakaian dan kesempurnaan geisha merupakan indikasi kesadaran mereka. Geisha masih menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk penampilanya, berhutang untuk membeli obi dan kimono yang mewah dan model terbaru. Jika dia bisa menampilkan karya yang paling artistik pembuat komono, maka reputasinya semakin baik. Seorang geisha mencari tamu murni dengan seni yang ada di komononya sebagai pintu untuk memasuki dunianya. Walaupun gesiha tidak lagi mempengaruhi fashion secara umum, mereka masih terus membuat model baru untuk kimono, pada tahun 1970 geishalah yang pertama kali memulai fashion dengan komono pastel.

Bagi orang Barat mungkin menjadi teka-teki bahwa daya tarik geisha seharusnya berubah seiring usia. Ada dua jenis geisha. Geisha yang cantik, yang karena kecantiannya segera mendapatkan jodoh. Mereka pensiun karena kerut. Jenis lain adalah geisha yang tidak tergantung pada kecantikanya namun pada kepandainnya berbicara. Mereka mendapatkan tamu dengan kepandaian kata-katanya. Dia tahu kekuatan anekdot dan seni merayu tanpa menyerang. Dibalik senyum dan rasa humornya mereka lebih manusiawi. Geisha jenis ini yang bisa-bisa mempunyai hanamachi di masa tuanya dan lebih banyak dirindukan setelah kematiannya.

SENI SEORANG GEISHA


Kebanggaan seorang geisha tergantung paga gei atau seninya. Gei merupakan hal penting bagi geisha sejak profesi ini mulai ada, ketika geisha disewa karena kemampuan menari dan menyanyinya. Sekarangpun tetap sama, ketika seorang wanita muda menjadi geisha sebagian besar adalah karena kecintaan mereka terhadap musik dan tari tradisional. Sebagai seorang geisha mereka dapat tampil sebagai profesional, bukan sebagai amatir.

Gei seorang geisha terutama terbentuk dari permainan shamisen dan tari tradisional, namun hal tersebut juga menjadi arah bagi seni tradisional lainnya seperti: kaligrafi, kemampuan menulis puisi, dan jamuan minum teh. Geisha pada masa sebelum perang, yang mengikuti pelatihan yang sangat keras, sangat ahli dalam berbagai jenis musik dan tari. Geisha jaman sekarang sebagain besar hanya menguasai satu jenis musik atau tari.
Geisha harus tahu persis tentang seni agar seni bisa menjadi karakternya yang kedua. Pertama-tama mereka belajar dengan hafalan. Belajar dengan hafalan ini penting agar seorang geisha dapat menyesuaikan diri dengan penyanyi dan penari. Semakin spontan keadaannya, semakin besar daya tarik seninya.


GEISHA DAN KABUKI

Ada hubungan yang kuat antara seni geisha dan kabuki, sebuah bentuk teater ala Jepang dimana menyanyi, menari dan aksi panggung dikemas dalam satu acting. Entertainer Okuni, seorang pendeta wanita muda agama Shinto, pertama kali mempertunjukkan tarian kabuki dan sketsa komik pada tahun 1600. Daya tarik penampilan groupnya di panggung (dan kesiapanya di luar panggung), menyebabkan kekacauan, dan pada tahun 1629 wanita tidak diperbolehkan melakukan pementasan panggung. Sesudah itu, kabuki seluruhnya berisi pria-bahkan untuk peran wanita yang hingga saat ini masih dipentaskan.

Sebagai tambahan terhadap hubungan sejarah antara Okuni dan penghibur wanita yang kemudian disebut geisha ada juga hubungan artistik. Kabuki pria dan geisha melebur dalam tempat hiburan dimana tarian wanita masih diperbolehkan untuk pertunjukan pribadi sesudah tahun 1629. Dengan demikian gei dari seorang gesiha langsung diambil dari istilah pada Kabuki. Tarian geisha terutama pada sekolah-sekolah di Tokyo, sangat terpengaruh oleh tarian gaya kabuki, sedangkan lagu-lagu geisha kadang-kadang seringkali sama dengan lagu-lagu yang dinyanyikan di panggung kabuki.

SHAMISEN

Shamisen adalah instrumen musik yang terdiri dari drum yang dibuat dari kulit kucing dengan tiga senar yang terbuat dari sutra yang digantungkan sepanjang leher dengan tiga paku yang terbuat dari gading untuk menyelaraskan nadanya. Instrumen itu dimainkan dengan pick dari gading. Musiknya dirancang untuk mengiringi suara manusia. Jika dimainkan dengan bagus alat tersebut mempunyai resonansi emosional yang besar.

Geisha menjadi trend seiring dengan permintaan akan musik shamisen. Dimulai pada tahun 1700-an, geisha disewa untuk memainkan nada-nada ini dengan alat yang diimport dari China melalui Korea. Jika ada sesuatu yang melambangkan geisha, itu adalah alat musik yang menyerupai Banjo. Bagi para musisi geisha, sebuah shamisen adalah sahabat sejatinya. Dia mungkin menyebutnya sebagai o-shami. Dalam cetakan ukiyo-e kehadiran shamisen lebih dapat mengidentifikasi seorang geisha dibandingkan model rambut atau pakaianya. Sekarang tidak semua geisha tampil dengan shamisen di muka umum, namun semua dilatih untuk memainkanya.

Pada awalnya shamisen digunakan untuk mengiringi tembang-tembang rakyat. Bersamaan dengan ini munculah tradisi ko-uta (lagu pendek) dan naga-uta (lagu panjang). Ada jenis lagu yang berbeda pada koleksi saat ini. Ada lagu-lagu romantis yang dibaca seperti puisi. Mereka seringkali menggunakan imaginasi natural. Banyak diantaranya bercerita tentang penantian terhadap seorang kekasih. Kebalikannya, ada juga nada-nada yang disebut kappore, kadang-kadang berupa lagu rakyat dari daerah, nada-nada gembira yang membuat pedengarnya memainkan sepatunya. Hal ini lebih tergantung pada ritme kata-katanya dari pada imaginasi puitisnya.

TARIAN

Sekarang ini geisha yang paling berhasil utamanya adalah para penari dan terutama dilihat oleh masyarakat umum dalam pertunjukan tari. Geisha bukanlah satu-satunya penari tradisional jepang, namun banyak alasan kenapa mereka masih tetap hidup. Tariannya bervariasi mulai dari pertunjukan dengan koreografer yang bagus pada pesta-pesta sampai pada tarian geisha pedesaan yang dipertunjukkan di festival-festival lokal.
Walaupun gerakan-gerakan tari tradisional tampak sederhana di mata orang barat, tarian tersebut tidak dibuat untuk tarian di ballroom atau balet. Pusat keseimbangan tubuh sangat rendah, kaki kadang harus menekukkan lutut ke lantai, bisa jadi muncul gerakan yang tiba-tiba setelah nampaknya hampir tidak ada gerakan. Kimono merupakan sebagian alasan bagi gerakan tarian Jepang yang unik.

PENUTUP: GEISHA SAAT INI


Secara periodik, artikel-artikel pada media di Jepang membuat geisha terdengar seperti spesies yang berbahaya. Media biasanya hanya memfokuskan pada bagaimana sekarang hanya ada maiko, atau geisha dalam pelatihan geisha di Kyoto dan mereka adalah para wanita muda yang direkrut dari wilayah-wilayah yang yang bersedia menjadi maiko sebentar saja. Mungkin dalam beberapa dekade ke depan geisha akan musnah. Namun demikian jika geisha tetap mempertahankan musik dan tari tradisional Jepang, geisha akan tetap menjadi harta karun dan tetap menjadi lambang bagi Jepang.

Kehidupan geisha telah berubah sejak jaman sebelum perang. Gadis-gadis tidak lagi dijual pada rumah geisha. Mizuage (virginitas) adalah masa lalu. Meski banyak orang menjadi geisha karena alasan ekonomi, seorang geisha bebas memilih majikanya dan boleh mempunyai pacar. Saat ini, para wanita muda bersedia menjadi geisha karena keinginan mereka untuk mengabdikan diri pada tari atau samishen. Pelatihannya bisa jadi sangat singkat, hanya dalam waktu setahun, walaupun tampaknya jika mereka berkeinginan untuk belajar seninya akan memerlukan waktu lebih lama. Sementara lebih dari seabad lalu geisha berada dalam lingkaran selebriti, sekarang mereka bekerja dan menetap untuk menyangga tradisi. Jika mereka hanya semata-mata menginginkan uang, mereka lebih baik bekerja sebagai hostess dari pada sebagai geisha. Fungsi hostess pada acara kumpul-kumpul malam pada saat ini banyak kesamaannya dengan apa yang dilakukan geisha pada masa lampau. Para hostess kelas tinggi ini cantik, berpakaian mahal, wanita dengan model fashion terbaru. Club-club semacam itu, terutama di daerah Akasaka atau Ginza, merupakan tempat-tempat untuk melakukan negosiasi bisnis yang tricky jika dilakukan di kantor. Sekarang ini, simpanan orang-orang penting lebih banyak mantan hostess dari pada mantan geisha. Saat ini hostess banyak berperan sebagai broker (calo) bisnis dan rahasia pemerintah, jauh dari peran geisha. Seperti geisha sebelumnya, hostess terbaik saat ini adalah mereka yang tahu kapan saatnya berbicara dan kapan saatnya harus diam. Saat memasuki usia pertengah hostess mempunyai kecukupan finansial dengan menjadi mama-san di club miliknya.

Peran gesiha mengalamiperubahan pada dekade sekarang ini seiring dengan berubahnya budaya sosiali dan seksualisasi. Pandangan tentang seksual di Jepang mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Sebelum masa perang ada gadis kafe dan sesudah masa perang orang tergila-gila pada sutorippu (tari telanjang). “Hotel Cinta” yang disewakan berdasarkan jam menjadi populer pada tahun 1960-an. Kebebasan seksual terkini adalah anak-anak sekolah yang memanfaatkan “club telepon”, dimana mereka menghibur para pria untuk mendapatkan uang demi untuk mendapatkan barang-barang bermerek, misalnya tas bermerek. Banyak dari trend semacam ini menjadi pembicaraan di media dari pada menjadi pembicaraan publik. Namun semua berpangkal pada moral seksual yang berubah secara drastis di Jepang.

Di Jepang saat ini tidak mengherankan jika daya erotis yang melekat pada karya seni beberapa ratus tahun lalu semakin berkurang. Namun di Jepang geisha masih mempunyai tujuan. Pesta paling mewah dari perusahaan-perusahaan besar masih menggunakan entertainment geisha. Di masa-masa mendatang, sepanjang masih ada wanita muda yang ingin menampilkan tarian tradional dan memainkan samishen secara profesinal mungkin mereka akan menjadi geisha. Dan geisha akan tetap ada sepanjang masih ada pria Jepang yang menginginkan dunia yang hanya dapat diciptakan oleh geisha-apakah hanya untuk menunjukkan kehalusan mereka atau untuk kepuasan duniawi mereka, atau karena mereka benar-benar menghargai harta karun masa lalu. END.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More