Senin, 18 Juli 2011

Shalat gerhana bulan


Tatacara Shalat Gerhana
Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan AllahSubhanahu wa Ta'ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambilpelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah 'Azza wa Jalla tampakkan tersebut.Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu, ialah terjadinya gerhana.Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal RasulullahShallallahu 'alaihi wa Sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dansegera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalihtatkala terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallamdalam sabdanya:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak
pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulanatau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam ataugelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalahgerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhurmenurut bahasa.1 Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dangerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu
‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pulariwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama.Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at.Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhanahukumnya sunnah muakkadah.2
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintahyang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani jugamenguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh
al-Albâni Rahimahullah.3 Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah
berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
(jika kalian melihat, maka
shalatlah -muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam berkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga danneraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakanhukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementaraNabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudiantidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka,pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkankemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadianbiasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat.Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak pedulisama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan halsia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah,yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajibmemiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.4
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan
ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti
halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad,Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i,Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu.5 Dalil mereka:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan
tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali. (Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam
Abu Hanifah dan Mâlik.6 Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhanabulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementaraitu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam

menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada
kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena NabiShallallahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikankeduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari danbulan).7 Sebagaimana di dalam hadits disebutkan:
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau
berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya.
(Muttafaqun ‘alaihi).
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata: “Sunnah yang diajarkan, ialahmenunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh NabiShallallahu 'alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namu n
pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan
demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.8
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut
berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah
sampai kembali terang. (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1)terang seperti sedia kala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikianpula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara,yaitu (1) terang seperti sedia kala, dan (2) saat terbit matahari.9
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA:
1.Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
2.Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian
beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di
belakangnya. (Muttafaqun ‘alaihi).
3.Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam
hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu'anhuma berkata:

Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tatkala terjadi
gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian
pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat… (Muttafaqun ‘alaihi).

4.Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru
untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat
akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr
Radhiallahu'anhuma, ia berkata:
Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi waSallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan).(HR Bukhâri).
5.Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah
Radhiallahu'anha berkata:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , tatkala selesai shalat, dia
berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri).
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanyasaja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalahini terdapat dua pendapat yang berbeda.

Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa
shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kalimembaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, diantaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu , ia berkata:

Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , maka
beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama
(seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu
berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang
pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari
ruku’ pertama. (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu'anha, ia berkata :

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat
ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian
membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya,
kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman
hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca,
panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang
pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’
yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada
raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian
salam… (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at,
dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnahlainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah haditsAbu Bakrah, ia berkata:


Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ,
maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya
tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.(HR
Bukhâri, an-Nasâ‘i).
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’),berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat AbuHanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yangmereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil olehjumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad.10 Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata :11“Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yangpada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompoksahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
1.Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan
membaca surat panjang, seperti al- Baqarah.
2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3.Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan :
4.Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah
dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
5.Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari
ruku’ yang pertama.
6.Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan :
7.Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
8.Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang
dilakukan pada raka’at pertama
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washahbihi ajma’in.
Marâji’:
1. Al-Mughni.
2. Ar-Raudhah an-Nadiyah.
3. Asy-Syarhul-Mumti’.

4. Bidayatul-Mujtahid.
5. Irwâ‘ul Ghalil.
6. Raudhatuth-Thalibin.
7. Shahîh Fiqih Sunnah.
8. Tamamul-Minnah, dan lain-lain.
---------------------------------------------------------------------------------------------

1Lisanul-‘Arab, Kasyful Qanna’, 2/60.
2Al- Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330.
3 Fathul-Bâri(2/612), Tamamul-Minnah(261), ar-Raudhah an-Nadiyah(156).
4Syarhul-Mumti’, 5/237-240.
5Al- Umm(1/214), al-Mughni(2/420), al-Inshaf(2/442), Bida yatul- Mujtahid (1/160), dan
Muhalla(5/95).

6 Ibnu Abidin (2/183) dan Bidayatul-Mujtahid(1/312).
7 Shahîh Fiqih Sunnah, 1/433.
8Al- Mughni, 3/323.
9Al- Mughni(3/427), Raudhatuth- Thalibin(2/87).
10 Shahîh Fiqih Sunnah, 1/437.
11 Irwâ‘ul Ghalil, 3/132

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More