Sabtu, 30 Juli 2011

syariah Islam untuk kemajemukan suatu bangsa

Salah satu alasan klasik yang biasa dilontarkan adalah perihal kemajemukan Indonesia, “di negeri ini penduduknya tidak semuanya Muslim, maka jangan men-dirikan negara Islam di sini”. Begitulah kurang lebih pernyataan mereka.

Padahal apabila diteliti, alasan ini sejatinya tampak aneh bin ajaib, kenapa alasan yang sama tidak ditujukan bagi ideologi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Faktanya, di Indonesia tidak semuanya berpaham sekuler, namun kenapa juga masih diterapkan sistem sekuler-kapitalis sampai sekarang. Begitu pula pihak yang ingin memperjuangkan sosialisme, kenapa alasan ini tidak diala-matkan kepada mereka. Toh di negeri ini juga tidak semuanya berpaham sosialisme.

Secara empiris, Islam-lah yang mam-pu mengurusi masyarakat yang heterogen dengan baik selama berabad-abad, sosialis cuma bertahan 72 tahun sudah hancur. Sedangkan kapitalisme pimpinan Amerika, saat ini sudah kelihatan kebobrokannya.

Hal ini diakui sendiri oleh sejarawan dari Barat Will Durrent yang bertutur dengan jujur ”Para Khalifah telah mem-berikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memer-lukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka ” (The Story of Civilization).

TW Arnold juga mengatakan: “Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muham-mad II menyatakan dirinya sebagai pelin-dung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang meme-rintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gen-nadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapat-kan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta per-hatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil,” (The Preaching of Islam).

Islam Mengatur Kemajemukan
Secara historis, realitas masyarakat adalah majemuk atau heterogen dan negara Islam (khilafah) juga bukanlah negara yang homogen. Ketika berdiri Negara Islam pertama kali di Madinah, saat Rasulullah SAW bertindak sebagai kepala pemerintahan waktu itu pun penduduknya juga majemuk, di sana ada umat Islam, Nasrani, Yahudi, dll, seperti itu pula dengan kehidupan pada era kekhilafahan setelah-nya. Islam begitu brilian dalam mengatur masyarakat yang heterogen.

Pertanyaannya, bagaimana perlakuan negara khilafah terhadap non Muslim? Secara umum hal ini dijelaskan oleh Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani di dalam kitab Ad-Daulah Al-Islamiyah, yang di antaranya:
Pertama, seluruh hukum Islam dite-rapkan kepada kaum Muslim. Kedua, non Muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya. Ketiga, memberlakukan non Muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum. Keempat, urusan pernikahan dan perceraian antar non Muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka. Kelima, dalam bidang publik seperti muamalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga negara baik Muslim maupun non Muslim. Keenam, setiap warga negara yang memiliki kewarganegaraan Daulah Islam adalah rakyat negara, sehingga negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan Muslim maupun non Muslim.

Pemberlakuan syariah Islam dalam sektor publik ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menyuruh memberikan sanksi Islam kepada dua orang Yahudi yang kedapatan berzina. Dalam sebuah hadits, dari Abdullah bin Umar ra berkata: “Beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi SAW menghadapkan seorang pria dan seorang wanita mereka, yang keduanya kedapatan berzina. Rasullulah memerintahkan supaya keduanya dihukum rajam. Lantas keduanya dirajam di tempat-tempat jenazah di samping masjid (HR. Bukhari).

Dalam Islam, setiap warga negara memperoleh persamaan hak di depan hukum. Tidak pandang bulu entah itu pejabat atau rakyat biasa (Muslim maupun non Muslim).  Ada sebuah riwayat menarik ketika Ali bin Abi Thalib ra yang kala itu menjabat sebagai khalifah (kepala negara) kehilangan baju besi miliknya yang dicuri oleh orang Yahudi. Kemudian perkara itupun diselesaikan di meja hijau, karena khalifah Ali tidak mempunyai bukti-bukti kuat dan hanya bisa mendatangkan saksi anaknya (Hasan), akhirnya sang hakim (qadhi) yang bernama Syuraih memutuskan bahwa perkara dimenangkan oleh orang Yahudi tersebut.

Setelah persidangan selesai, orang Yahudi tersebut hatinya merasa trenyuh,  akhirnya ia pun mengakui bahwa baju besi itu milik sang khalifah, bahwa dia yang mencurinya. Ia pun kemudian berkata “Wahai Khalifah, sesungguhnya baju pe-rang ini milikmu. Ambillah kembali. Aku sungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau adalah Amirul Mukminin. Ternyata pengadilan Muslim memenangkan aku. Sungguh, ini adalah pengadilan yang sa-ngat luar biasa. Dan sungguh, Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang peradilan. Wahai Khalifah Ali, mulai detik ini aku akan memeluk Islam dan ingin menjadi Muslim yang baik”. Seketika itu pula ia memeluk Islam. Subhanallah!

Itulah, Islam cerdas dalam mengatur kemajemukan sebuah bangsa. Dengan penerapan syariah Islam secara kaffah negeri ini bisa terbebas dari penjajahan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Islam mampu membebas-kan Indonesia dari krisis multidimensi yang sekarang melanda. Alhasil, alasan orang-orang liberal tersebut jelas tidak bisa diterima. Karena itu, tetap selamatkan Indonesia dengan syariah dan khilafah

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More